MATERI LMND

PENGANTAR EKONOMI POLITIK


Apa itu Neoliberalisme…???
Neoliberalisme. Kata yang kerap menjadi sumber kontroversi pada beberapa dasawarsa terakhir. Para pengusungnya percaya bahwa neoliberalisme merupakan satu-satunya jalan menuju kemakmuran dunia. Di sisi lain, neoliberalisme juga menjadi sasaran kritik dan dituding sebagai sumber kehancuran dan degradasi berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, menarik untuk memahami asal usul, sejarah kelahiran, maupun perdebatan di seputar keberadaannya.
Memahami Neoliberalisme
Secara sederhana, neoliberalisme dapat didefinisikan sebagai “… an updated version of classical political economy that was developed in the writings of free-market economists…” (Heywood, 2002: p. 49). Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan pada pendapat Balaam dan Veseth (2005, p. 507) yang memaknai neoliberalisme sebagai
Dari definisi tersebut, tampak bahwa neoliberalisme merupakan gagasan yang terkait dengan upaya untuk kembali pada kebijakan ekonomi liberal klasik yang diusung oleh Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme dengan demikian dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Namun, berbeda dengan liberalisme klasik yang diperkenalkan oleh Adam Smith dan David Ricardo, neoliberalisme lebih merupakan kebijakan ekonomi daripada sekedar sebuah perspektif ekonomi politik. Dengan definisi semacam itu, perlu kiranya dikaji kembali apa yang dimaksud dengan ”liberalisme klasik”. Di samping itu, penelusuran atas perkembangan liberalisme perlu dilakukan agar dapat memahami mengapa “upaya untuk kembali” kepada liberalisme klasik muncul.
Perkembangan Pemikiran Liberalisme
Gagasan neoliberalisme berakar pada tradisi pemikiran liberal yang menempatkan individualisme, rasionalitas, kebebasan, dan equality sebagai nilai-nilai yang paling mendasar.
Asumsi-asumsi Dasar Liberalisme
1.      Individualisme: manusia sebagai individu merupakan hal yang paling mendasar dalam pandangan kaum liberal. Karena hakekat manusia merupakan makhluk yang penuh damai dan mempunyai kemauan bekerja sama, kompetitif secara konstruktif, dan rasional.
2.      Equality: setiap individu lahir setara. Namun setiap individu mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda. Karenanya kaum liberal percaya akan adanya ‘equality of opportunity’ yang memberikan setiap individu kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi mereka masing-masing.
3.      Kebebasan: kebebasan individu untuk mencapai apa yang terbaik bagi dirinya perlu mendapat jaminan. Kebebasan individu tersebut dijamin melalui mekanisme pasar [invisible hand-Adam Smith]
4.      Peran negara minimalis: peran negara yang kuat dan aktif dapat mengancam kebebasan individu karenanya campur tangan negara dalam pasar akan merugikan masyarakat. Kaum Liberal memandang ketegangan laten antara negara dan pasar merupakan konflik antara penindasan dan kebebasan, kekuasaan dan hak individu, dogma otokratik dan logika rasional.
Tradisi liberal bisa ditelusuri dari pemikiran Adam Smith (1723 – 90) ketika ia menerbitkan bukunya yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776. Kelahiran gagasan liberalisme Adam Smith tersebut muncul sebagai respon terhadap praktek-praktek merkantilisme di Inggris pada masa itu yang dicirikan dengan kentalnya peran negara. Praktek semacam ini dalam pandangan Adam Smith dianggap hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu dan telah membawa kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label 'liberalisme klasik'.
Dalam pandangan liberalisme klasik, negara dianggap—meminjam istilah Tom Paine—sebagai ’necessary evil’ (Heywood, 2002). Negara dianggap sebagai ’necessary’ karena negara dibutuhkan untuk membentuk tatanan, menjaga keamanan, dan menjamin tegaknya aturan hukum. Sementara pada saat yang bersamaan, negara juga dapat muncul sebagai ‘evil’ mengingat negara bisa memaksakan kehendak kolektif yang dapat membatasi kebebasan individu. Karenanya, negara yang dibutuhkan adalah negara yang minimal, sekedar merupakan penjaga malam (nightwatchman state).
Pemahaman atas peran negara minimalis ini kemudian mengalami perkembangan dan memunculkan varian yang berbeda dalam tradisi pemikiran liberal. Kemunculan tokoh-tokoh seperti John Stuart Mill (1806 – 73) dan John Maynard Keynes (1883 – 1946) yang menghendaki peran negara yang lebih aktif menandai perubahan yang cukup mendasar dalam tradisi pemikiran liberal. Meskipun Mill dan Keynes menyepakati pentingnya kebebasan individu yang merupakan inti dari ajaran liberalisme namun keduanya mengambil posisi yang berbeda dengan liberalisme klasik terutama dalam menyikapi prinsip self-regulating market.
Mill melalui Principles of Political Economy with Some of Their Applications to Social Philosophy (1848) telah meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan gagasan welfare liberalism. Dalam pandangan Mill, liberalisme yang telah melemahkan wewenang kekuasaan negara dan memperkuat kebebasan individu memang bisa dipandang sebagai sebuah capaian yang berarti. Namun bagi Mill kemajuan sosial perlu dipahami sebagai kemajuan moral dan spiritual dan bukan hanya penumpukan kekayaan (Balaam dan Veseth, 2005). Oleh karena itu, negara perlu melakukan tindakan terbatas dan selektif untuk mengoreksi kegagalan dan kelemahan pasar. Lebih jauh, meskipun negara harus “berlepas tangan” dalam sebagian besar bidang kehidupan namun negara perlu campur tangan dalam bidang pendidikan anak atau memberikan bantuan untuk orang miskin. Peran negara sangat diperlukan mengingat dalam kaca mata Mill, inisiatif individu tidak cukup memadai untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Sementara itu Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) menolak asumsi dasar self-regulating market liberalisme klasik yang memisahkan peran negara dalam ekonomi. Lepasnya peran negara dalam urusan ekonomi menurutnya justru menimbulkan instabilitas dan tingginya tingkat pengangguran sebagaimana tercermin pada masa Great Depression tahun 1930an (Heywood, 2002). Keynes meyakini bahwa salah satu prasyarat agar kapitalisme dapat terus berkembang adalah full employment yang hanya akan dapat dicapai jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi. Keynes karenanya percaya akan peran positif pemerintah dapat bermanfaat mengatasi persoalan yang tidak bisa ditangani oleh pasar seperti inflasi dan pengangguran. Ajaran Keynes yang lebih dikenal sebagai Keynesian Economics ini mendominasi kebijakan ekonomi politik pasca perang dunia kedua di bawah sistem Bretton Woods hingga akhir 1970-an.
Keliahiran Neoliberalisme
Stagflasi yang melanda dunia pada tahun 1970-an meruntuhkan asumsi-asumsi sosialisme demokrasi yang diusung oleh Keynes. Krisis yang terjadi, (ditengarai) muncul sebagai akibat dari intervensi negara yang terlalu jauh dalam urusan ekonomi. Intervensi yang sedianya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan sosial justru telah menimbulkan inefisiensi dan menyebabkan krisis. Dalam kondisi semacam ini, para pemikir liberal berupaya mengembalikan doktrin liberalisme kepada liberalisme klasik ala Adam Smith dan David Ricardo yang percaya unregulated market akan meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan dan menghasilkan kemakmuran global.
Pakar sejarah mungkin akan memandang tahun 1978-80 sebagai titik-balik yang revolusioner dalam sejarah sosial dan ekonomi.
Pada 1978, Deng Xiaoping mengambil langkah menentukan pertama menuju liberalisasi, terhadap ekonomi yang dikuasai komunis dalam sebuah negeri yang menampung seperlima penduduk dunia. Jalan yang didefinisikan oleh Deng adalah mentransformasi Tiongkok selama dua dekade dari keterpencilan tertutup menuju pusat dinamika kapitalis yang terbuka dengan tingkat pertumbuhan tetap yang tak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Di sisi seberang Pasifik,
Dalam keadaan yang cukup berbeda, seorang tokoh yang relatif tak dikenal (tapi kini terkenal) bernama Paul Volcker[1] mengambil komando Cadangan Federal AS pada Juli 1979, dan dalam beberapa bulan mengubah kebijakan moneter secara dramatis. Sejak itu The Fed mengambil kepemimpinan dalam melawan inflasi tak peduli apa pun konsekuensinya (terutama yang menyangkut lapangan kerja).
Di seberang Laut Atlantik, Margaret Thatcher telah dipilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada Mei 1979, dengan mandat menekan kekuatan serikat buruh dan mengakhiri stagnasi inflasioner yang menyengsarakan dan meliputi negeri tersebut dalam dekade-dekade sebelumnya.
Kemudian, pada 1980, Ronald Reagan dipilih menjadi Presiden Amerika Serikat dan, dengan bekal keramahan dan karisma pribadi, mengarahkan AS untuk merevitalisasi ekonominya dengan mendukung langkah Volcker di the Fed dan menambahkan campuran kebijakannya yang khas untuk menekan kekuatan buruh, menderegulasi industri, pertanian, dan ekstrasi sumber daya alam, dan membebaskan kekuasaan finansial, baik secara internal maupun di panggung dunia. Dari beberapa titik pusat ini, desakan yang revolusioner seakan menyebar dan bergema untuk membentuk dunia di sekitar kita menjadi suatu gambaran yang sama sekali berbeda.
Transformasi dengan jangkauan dan kedalaman seperti ini tidak terjadi tanpa disengaja. Maka pantaslah dilakukan penyelidikan tentang sarana dan jalan apa yang dipetik oleh konfigurasi ekonomi baru ini (yang sering dimasukan ke dalam istilah 'globalisasi') dari serpihan lamanya. Volcker, Reagan, Thatcher, dan Deng Xiaoping semuanya mengambil argumen kelompok minoritas yang telah lama beredar dan menjadikannya mayoritas (walau bukan tanpa pertarungan berkepanjangan).
Meskipun demikian, kebangkitan pemikiran liberalisme klasik (neo-classical economy) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai neoliberalisme memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan liberalisme klasik. Liberalisme klasik ala Adam Smith klasik menentang bentuk-bentuk monopoli baik oleh negara maupun kelompok bisnis. Namun dalam pandangan liberalisme klasik peran negara tetap dibutuhkan terutama untuk menciptakan lingkungan yang dapat menjamin hak-hak individu. Sementara neoliberal berada pada posisi yang lebih ’mencurigai’ peran Negara. Sehingga dari segi apa pun, kekuasaan negara perlu tetap dikontrol.
Kebangkitan kembali liberalisme klasik dapat ditelusuri lewat pemikiran dua pemenang nobel Friedrich von Hayek (1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Upaya pengembalian pemikiran liberalisme klasik ini tidak hanya berhenti pada tataran ide. Gagasan tersebut kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris di bawah perdana menteri Margaret Thatcher dan pada saat yang hampir bersamaan diterapkan oleh Ronald Reagan di AS serta ekonomi gaya baru oleh China. Sehingga kemunculan neoliberalisme kerap disepadankan dengan neokonservatisme mengingat kebangkitannya di Inggris melekat pada Thatcher yang berasal dari partai konservatif. Tidak berhenti sampai disitu, dengan disponsori oleh Inggris dan AS, di tingkat global gagasan neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.
Gagasan-gagasan neoliberal sebagaimana dipraktekkan di Inggris dan AS serta yang diadopsi dalam sejumlah kebijakan lembaga ekonomi internasional tersebut dikemas dalam resep yang oleh John Williamson (1993) sebagai Washington Consensus seperti berikut ini:
Resep Kebijakan Washington Consensus
1.      Price Decontrol : Penghapusan kontrol atas harga komoditi, faktor produksi, dan matauang.
2.      Fiscal Discipline : Pengurangan defisit anggaran pemerintah atau bank sentral ke tingkat yang bisa dibiayai tanpa memakai inflationary financing.
3.      Public Expenditure Priorities : Pengurangan belanja pemerintah, dan pengalihan belanja dari bidang-bidang yang secara politis sensitif, seperti administrasi pemerintahan, pertahanan, subsidi yang tidak terarah, dan berbagai kegiatan yang boros ke pembiayan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan.
4.      Tax Reform : Perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan pajak, dan pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di luar negeri.
5.      Financial Liberalization : Tujuan jangka-pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank khusus bagi peminjam istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi. Tujuan jangka-panjangnya adalah penciptaan tingkat bunga bank berdasar pasar demi memperbaiki efisiensi alokasi kapital.
6.      Exchange Rates : Untuk meningkatkan ekspor dengan cepat, negara-negara berkembang memerlukan tingkat nilai tukar matauang yang tunggal dan kompetitif.
7.      Trade Liberalization : Pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota (pembatasan secara kuantitatif) harus diganti tarif (bea cukai), dan secara progresif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam (kira-kira 10% sampai 20%).
8.      Domestic Savings : Penerapan disiplin fiskal/APBN, pengurangan belanja pemerintah, reformasi perpajakan, dan liberalisasi finansial sehingga sumberdaya negara bisa dialihkan sektor-sektor privat dengan produktivitas tinggi, dimana tingkat tabungannya tinggi. Model pertumbuhan neo-klasik sangat menekankan pentingnya tabungan dan pembentukan kapital bagi pembangunan ekonomi secara cepat.
9.      Foreign Direct Investment : Penghapusan hambatan terhadap masuknya perusahaan asing. Perusahaan asing harus boleh bersaing dengan perusahaan nasional secara setara; tidak boleh ada pilih-kasih.
10.  Privatization : Perusahaan negara harus diswastakan.
11.  Deregulation : Penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi persaingan; kecuali kalau pertimbangan keselamatan atau perlindungan lingkungan hidup mengharuskan pembatasan itu.
12.  Property Rights : Sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan
Sumber: Mas’oed: 2002 p. 5 – 7
Neoliberalisme Dalam Praktek
Praktik Neoliberalisme
Di mana-mana terdapat pergeseran nyata menuju neoliberalisme dalam praktek dan pemikiran ekonomi politik sejak tahun 1970an. Deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara dalam banyak area pelayanan sosial telah menjadi sangat biasa.
Hampir semua negara, dari yang masih baru berdiri setelah keruntuhan Uni Soviet hingga demokrasi-demokrasi sosial gaya lama dan negara kesejahteraan seperti Selandia Baru dan Swedia, telah memeluk - sering dengan sukarela dan dalam kasus lain sebagai respon atas tekanan koersif - berbagai versi teori neoliberal serta menyesuaikan setidaknya beberapa kebijakan dan prakteknya menurut teori tersebut.
Afrika Selatan paska apartheid dengan cepat memeluk neoliberalisme, dan bahkan Tiongkok kontemporer, sebagaimana akan kita lihat, tampaknya mengarah ke haluan ini. Lebih jauh lagi, para pembela jalan neoliberal kini menempati posisi-posisi yang berpengaruh besar dalam pendidikan (berbagai universitas dan banyak 'think tanks'), dalam media, dalam ruang-ruang pimpinan korporasi dan institusi finansial, dalam institusi kunci negara (departemen keungan, bank sentral), dan juga dalam institusi-institusi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Dagang Dunia (WTO) yang meregulasi keuangan dan perdagangan global.
Neoliberalisme, pendeknya, telah menjadi hegemonik sebagai mode diskursus. Dampaknya begitu luas mempengaruhi cara berpikir hingga ke titik di mana ia telah menyatu dalam pandangan-umum yang oleh sebagian besar di antara kita merupakan jalan untuk menginterpretasikan, menjalani kehidupan, dan memahami dunia.
Akibat / Dampak Neoliberalisme
Proses neoliberalisasi, meski demikian, telah melibatkan banyak 'penghancuran kreatif', bukan saja dalam hal kerangka institusional dan kekuasaan sebelumnya (bahkan menjadi tantangan bagi bentuk-bentuk tradisional kedaulatan negara) tapi juga dalam hal pembagian kerja, hubungan sosial, penyediaan kesejahteraan, percampuran teknologi, gaya hidup dan cara berpikir, aktivitas reproduktif, kemelekatan terhadap tanah dan pola kebiasaan.
Selama neoliberalisme menilai pertukaran pasar sebagai 'suatu etika tersendiri, yang mampu berperan sebagai pemandu semua tindakan manusia, dan mensubstitusi semua keyakinan etis yang dipegang sebelumnya', ia menekankan pentingnya hubungan kontraktual dalam pasar.[2] Ia meyakini bahwa barang sosial akan termaksimalkan dengan memaksimalkan jangkauan dan frekuensi transaksi pasar, dan ia berupaya meletakkan semua tindakan manusia ke dalam wilayah kekuasaan pasar. Ini membutuhkan teknologi untuk menciptakan informasi dan kapasitas untuk mengakumulasi, mentransfer, menganalisa, dan menggunakan gudang data (databases) untuk memandu keputusan-keputusan dalam pasar global.
Dari sinilah asal-usul ketertarikan neoliberalisme yang begitu intens dalam mengejar teknologi informasi (sehingga beberapa pihak memproklamirkan kemunculan jenis baru 'masyarakat informasi'). Teknologi-teknologi ini mengkompresi kepadatan transaksi pasar yang terus bertambah dalam ruang dan waktu. Mereka memproduksi suatu desakan khas dan intens yang di kesempatan lain saya sebut 'kompresi ruang-waktu'. Semakin besar jangkauan geografisnya (inilah asal usul penekanan pada 'globalisasi') dan semakin pendek jangka waktu kontraknya berarti semakin baik.
Kecenderungan pada yang terakhir ini paralel dengan deskripsi terkenal oleh Lyotard tentang kondisi paska-modern sebagai kondisi di mana 'kontrak sementara' menggantikan 'institusi permanen dalam lingkup profesional, emosional, seksual, budaya, keluarga dan internasional, maupun urusan politik'. Konsekuensi budaya dari dominasi etika pasar seperti itu sangatlah besar, sebagaimana ditunjukkan dengan cukup detail dalam The Condition of Postmodernity.[3].
Poin diatas inilah yang kemudian bisa kita lihat bersama dalam kehidupan nyata di kehidupan masyarakat Dunia, khususnya Indonesia. Dimana seluruh ruang-ruang kemasyarakatan tercetak menjadi ruang-ruang transaksional yang berakibat pada puusnya tali kolektivitas kemasyarakatan. Bagaimana masyarakat dengan mudah diombang-ambingkan oleh berita, bagaimana kita melihat dengan nyata bahwa kesadran masyarakat akan dengan mudahnya dicetak untuk memenuhi kepantingan akumulasi modal.
Ketika gagasan neoliberalisme dituangkan dalam bentuk resep kebijakan inilah, ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Pada titik ini para pengusungnya meyakini bahwa tidak ada jalan lain di luar neoliberalisme untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. There is no alternative (TINA) jargon yang diperkenalkan oleh Thatcher menandai nilai yang dianut the Iron Lady dari Inggris tersebut terhadap kemanjuran resep neoliberal (George, 1999). Kegagalan sosialisme seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet pada awal tahun 1990-an seolah meneguhkan pandangan tersebut. Kevakuman ideologi pasca runtuhnya Uni Sovyet memberi ruang bagi para pengusung gagasan neoliberalisme untuk mengintensifkan ide-ide pro pasar bebas mereka. Melalui berbagai lembaga-lembaga ekonomi internasional gagasan-gagasan neoliberal dipaksakan penerapannya secara global.
Di sektor perdagangan, kelahiran World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 yang menggantikan rejim perdagangan sebelumnya di bawah GATT, secara gamblang meninggalkan prinsip embedded liberalism[4] yang sarat dengan ide Keynesian menuju penerapan neoliberalisme yang dilandasi semangat pro pasar dan pengkerdilan peran negara. Di sektor finansial, rejim finansial internasional di bawah IMF mengkampanyekan ide-ide neoliberal lewat penerapan Structural Adjustment Program (SAP)-nya yang mensyaratkan sejumlah perubahan-perubahan struktural ketika suatu negara membutuhkan pinjaman dari lembaga tersebut. Keberhasilan kampanye kebijakan neoliberal ditandai dengan kecenderungan negara-negara bekermbang yang mengadopsi resep-resep Washington Consensus sebagai landasan kebijakan ekonomi politik mereka. Krisis finansial yang melanda Asia Timur pada pertengahan tahun 1990-an kembali melegitimasi superioritas neoliberalisme. Krisis finansial tersebut seakan menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dicapai lewat kuatnya peran negara melalui kebijakan developmental state tidak mampu bertahan lama dan justru berakhir dengan krisis.
Namun, benarkah janji-janji neoliberalisme beserta perangkat kebijakannya mampu terwujud? Disinilah kontroversi terhadap neoliberalisme muncul. Sejumlah studi menunjukkan penerapan resep neoliberalisme justru memunculkan degradasi dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan neoliberal dianggap tidak hanya menggerogoti kedaulatan negara namun pada saat bersamaan telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan multinasional dengan kekuatan modal mereka. Lebih jauh, kebijakan neoliberal juga dituding memperlebar jurang kemiskinan baik di tingkat domestik maupun di tingkat global. Penurunan upah buruh 40 hingga 50% yang diiringi dengan peningkatan biaya hidup yang mencapai 80% pasca penerapan North America Free Trade Area (NAFTA) di Mexico menjadi salah satu bukti kegagalan janji neoliberal (Martinez dan Garcia: (no date)). Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Public Citizen, NGO asal AS yang getol mengkritisi WTO, menunjukkan bahwa sejak WTO diberlakukan jumlah orang miskin yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari[5] meningkat tajam. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya tingkat kesenjangan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin dalam kurun waktu 10 tahun terkahir. Pendapatan rata-rata orang yang tinggal di 10 negara paling kaya di dunia pada tahun 1980 adalah 77 kali lebih besar dibanding mereka yang tinggal di 10 negara termiskin di dunia, dan pada tahun 1999 angka tersebut melonjak menjadi 122 kali lebih besar (Wallach dan Woodall, 2004). Lebih jauh UNDP melaporkan bahwa pada tahun 1999, negara-negara maju dengan populasi 22,9% dari total populasi dunia menikmati 84.2% dari GNP dunia, sementara NSB dengan populasi 77,1% penduduk dunia hanya meraih 15,8% dari GNP dunia. Ketimpangan semacam inilah yang lebih populer disebut sebagai kondisi ”20 – 80 society”.
Lalu bagaimana di Indonesia?
Bisa dikatakan bahwa praktik Neoliberalisme di Indonesia adalah tidak lebih baik dari apa yang sudah pernah dialami oleh para pendahulu kita, bahkan ada beberapa pendapat situasi saat ini lebih buruk daripada saat dijajah oleh Belanda.
Bukankah kita sudah merdeka? Dan dengan menganut system demokrasi, bukankah saat ini kita bisa berbuat apa saja yang kita mau? Pertanyaan itu mungkin sangat sering kita dengar ketika sedang mendiskusikan persoalan bangsa dengan masyarakat luas. Akan tetapi jika dicermati secara mendalam, ruang kehidupan manusia Indonesia era ini sangatlah menderita dalam segala bidang.
Bidang Ekonomi:
  1. De-industrialisasi -- PHK -- bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal (sekarang lebih dari 70% dari total jumlah tenaga kerja) -- menghasilkan fragmentasi modal, menghancurkan keberadaan industri dan kelas pekerja modern dan sekaligus melemahkan potensi kelahiran baru industri dan kelas sosial ini (lumpenisasi). Adanya barisan panjang para pencari kerja telah kembali melemahkan kekuatan tawar (bargaining possition) buruh dalam tiap negosiasi untuk meningkatkan kesejahteraannya. Lumpenisasi juga dapat disebut sebagai pasar tenaga kerja super fleksibel (yang tujuan utamanya adalah menekan labour cost).
  2. Penghancuran kekuatan-kekuatan produktif pertanian (pencaplokan lahan untuk perusahaan perkebunan, pertambangan atau industri kehutanan, tidak ada perlindungan pasar/kalah dalam persaingan—termasuk jatuhnya harga komoditas pertanian, kesulitan dalam mengakses kredit, teknologi yang terbelakang). Kemiskinan di daerah pedesaan meningkatkan urbanisasi dan pengiriman tenaga kerja luar negeri (unskill workers) bahkan perdagangan manusia (trafficking).
  3. Belanja atau konsumsi masyarakat dipaksa meninggi terutama melalui sistem kredit. Barang-barang impor semakin banyak dijumpai. Apa yang disebut "pabrik" (sebenarnya tempat perakitan) perlahan beralih fungsi menjadi gudang. Perekonomian Indonesia saat ini ditopang oleh konsumsi tinggi kendaraan/alat transportasi dan properti. Sebagai ilustrasi, selama bulan April 2009 terjual 385.831 unit sepeda motor dan meningkat menjadi 457.650 unit pada Mei 2009. Sementara penjualan mobil dalam tiga tahun terakhir telah mencapai 1,5 juta unit.
  4. Jumlah orang yang bisa mengecap pendidikan menengah atau yang lebih tinggi semakin terbatas. Struktur ketenagakerjaan Indonesia saat ini masih ditandai dengan karakteristik "pendidikan dasar", yang—secara satir dapat dikatakan—sesuai dengan program pemerintah (wajib belajar hanya sampai 9 tahun). Sebanyak 55.43 juta dari 104.49 juta angkatan kerja adalah lulusan sekolah dasar. Sisanya, 19,85% SMP pendidikan, 15,43% berpendidikan SMA, 7,19% yang berpendidikan diploma, dan 6,90% berpendidikan tinggi (S 1 dan seterusnya).
  5. Sebanyak 115 juta orang yang hidup dengan pendapatan di bawah 2 US $ atau 20 ribu rupiah per hari (kategori miskin menurut Bank Dunia). Segmen ini lebih rentan terhadap berbagai penyakit atau gangguan kesehatan serta berbagai masalah sosial. Angka kematian ibu dan balita tidak pernah ditekan, pada tahun 2007 tercatat 13.778 kematian per tahun, atau dua kematian per jam. Demikian pula, kasus gizi buruk mencapai 28% dari total jumlah bayi dan terjadi hampir merata di berbagai daerah.
  6. Masalah lingkungan akibat eksploitasi alam dan konsumsi yang berdampak pada rakyat seperti banjir, polusi, dan kontaminasi.
Politik dan Budaya:
  1. De-industrialisasi PHK bertambahnya jumlah pengangguran dan kemiskinan berdampak pada munculnya masalah sosial (kejahatan dan dekadensi).
  2. De-industrialisasi fragmentasi modal sosial -- fragmentasi kekuatan politik rakyat – di sisi yang lain juga menghadirkan potensi pengorganisasian lumpen proletariat dan borjuis kecil/semi proletariat.
  3. Atomisasi dan kompetisi individu dalam upaya untuk bertahan hidup. Penghancuran struktur dan infrastruktur perlawanan rakyat melalui tekanan ekonomi dan hegemoni budaya. Indikasi merebaknya budaya atau pola pikir individualisme semakin kuat.
  4. Konsumerisme.
  5. Pragmatisme sebagai dasar pilihan politik di hadapan lautan massa 'tanpa ideologi'. Rezim neoliberal mencoba untuk memainkan budaya politik subsistensi: memberikan sogokan kecil kepada rakyat dalam taraf tertentu untuk menyelamatkan posisi politiknya (contoh: beras untuk rakyat miskin, BLT, dll).
  6. Media massa menstream cenderung menjauhkan rakyat dari partisipasi politik. Kehadiran media yang membawa misi politik borjuasi nasional seperti Media Indonesia (termasuk Metro TV) akhir-akhir ini membawa warna yang sedikit berbeda. Rezim ini juga menyediakan saluran untuk menyampaikan persoalan atas nama kepentingan publik dalam isu-isu spesifik tertentu (melalui lembaga-lembaga negara dan kadang melalui LSM)--sambil mengarahkan proses perubahan melalui reformasi-reformasi terbatas.
  7. De-politisasi (dalam beberapa cara yang berbeda dibanding rezim Orba) dengan mempertahankan citra partai politik (dan  politik pada umumnya) sebagai sesuatu yang kotor dan amoral sehingga mayoritas rakyat yang terbiasa apolitis enggan terlibat secara serius.
  8. Di sisi lain demokrasi dan meluasnya akses informasi di kalangan "kelas menengah" telah mendorong daya kritis tertentu, meski belum cukup matang dalam hal perspektif ekonomi politik (program dan strategi taktik).
  9. Tekanan terhadap borjuasi nasional atau domestik semakin kuat sejak krisis 2008, sehingga semakin meluaskan spektrum borjuasi nasional yang berkontradiksi terhadap agen-agen neoliberal.
Penutup
Janji-janji yang tidak juga terwujud telah memunculkan kritik dan mendorong munculnya gerakan resistensi global terhadap praktik-praktik neoliberal. Terlebih, pemaksaan penerapannya melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional mendorong munculnya perlawanan atas nama kedaulatan negara. Kemunculan tokoh-tokoh politik seperti Evo Morales dari Bolivia, Hugo Chavez dari Venezuela yang menerapkan kebijakan ekonomi politik yang keluar dari pakem rejim neoliberal menambah daftar gerakan anti neoliberal. Fenomena gerakan anti neoliberal di Amerika Latin tersebut menunjukkan keberanian dan keteguhan para pemimpin politiknya yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin politik lain di berbagai belahan bumi yang cenderung sekedar mengekor dan menghamba demi bantuan asing. Keberhasilan dari keberanian yang ditunjukkan para pemimpin politik di negara-negara Amerika Latin tersebut memang masih perlu pembuktian. Adakah ini dapat mendorong gerakan yang lebih mengglobal atau sekedar gerakan khas Amerika Latin yang memang memiliki sejarah resistensi yang cukup panjang, hanya waktu yang akan membuktikan. Namun setidaknya apa yang terjadi di Amerika Latin belakangan ini seolah menyentakkan dunia bahwa sesungguhnya ada jalan lain di luar resep neoliberalisme yang bisa diambil. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika tulisan ini akan ditutup dengan mengutip apa yang disampaikan oleh Susan George (1999) bahwa “neo-liberalism is not the natural human condition, it is not supernatural, it can be challenged and replaced because its own failures will require this”.


[1] ekonom asal Amerika Serikat yang menjadi Ketua Federal Reserve dibawah Presiden Jimmy Carter dan Ronald Reagan dari Agustus 1979 hingga Agustus 1987
[2] Treanor, 'Neoliberalism'.
[3] D. Harvey, The Condition of Postmodernity (Oxford: Basil Blackwell, 1989); J.-F. Lyotard, The Postmodern Condition (Manchester: Manchester University Press, 1984), 66.
[4] Embedded liberalism merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Ruggie (1982) yang merujuk pada bentuk kompromi antara liberalisme dan kebijakan intervensionis untuk menjamin kesejahteraan domestik
[5] 1 Dollar AS per hari merupakan batasan yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan yang ekstrim.






PENGANTAR DASAR FILSAFAT REVOLUSIONER

Manusia harus mempunyai pedoman, agar hidupnya terarah. Agar tidak goyah menghadapi rintangan-rintangan yang dihadapi dalam proses perjalanan hidup. Oleh karena itu setiap aktifitas hidup-pun perlu dibimbing oleh pedoman atau teori yang ada. Dunia pergerakan sebagai sebuah profesi revolusioner yang telah atau sedang dan yang akan kita geluti untuk membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan kaum penindas pun memerlukan panduan berupa logika berpikir, tentunya logika berpikir yang sudah teruji keampuhannya dalam merontokan sistem penindasan. Adagium Rusia berkata: " Tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner “, adalah benar tentunya.
Persoalan logika berpikir adalah masalah hubungan antara pikiran dan keadaan, atau antara ide (pikiran) dengan materi. Antara mana yang lebih dahulu (primer) dan sekunder antara ide dan materi? Dengan logika berpikir maka kita akan bisa memilah persoalan, membuat prioritas-prrioritas tentang hal-hal yang mendesak yang harus dilakukan seorang aktivis gerakan untuk perubahan.
Jawaban atas pertanyaan ini membagi dua aliran filsafat yaitu: Idealisme dan Materialisme.
Idealisme memandang bahwa ide lebih dahulu (primer), kemudian disusul oleh materi (sekunder).
Materialisme memandang sebaliknya.Materi dahulu (primer), baru melahirkan ide (sekunder)

IDEALISME

Filsafat idealisme terbagi menjadi dua sebagai berikut :
1. Idealisme Obyektif yaitu idealisme yang memandang bahwa terdapat ide yang berada di luar eksistensi manusia dan alam semesta. Semua yang material adalah hasil karya ide yang berada di luar manusia. Segala fenomena alam maupun fenomena sosial adalah hasil rekayasa ide obyektif tersebut. Hegel menyebut ide di luar manusia itu sebagai “ide Absolut” yang tidak terbatas pada/oleh ruang/tempat atau waktu. Jadi bersifat kekal immanen. Dalam kehidupan sehari-hari pemikiran Idealisme Obyektif mengambil bentuk penumpuan segala sesuatu kepada apa yang disebut dengan tuhan, dewa, dan kekuatan- kekuatan ghaib lainnya. Logika Mistik adalah salah satu bentuk filsafat Idealisme Obyektif.
2. Idealisme Subyektif yaitu idealisme yang memandang bahwa dunia materi adalah sensasi-sensasi manusia, sedangkan pikiran dan perasaan adalah satu-satunya zat (substansi) yang riil. Orang yang selalu menumpukan harapan-harapan kepada ide manusia adalah contoh orang yang idealis subyektif.
Idealisme Obyektif menyangkal adanya dunia materil yang obyektif dan mengakui dunia yang riil hanya dalam sensasi manusia.

MATERIALISME

Filsafat materialisme memandang bahwa materi lebih dahulu ada (primer) sedangkan ide atau pikiran adalah sekunder. Dengan kata lain materialisme mengakui bahwa materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi.
Contoh : Karena meja atau kursi secara obyektif ada maka orang berpikir tentang meja dan kursi. Bisakah seseorang memikirkan meja atau kursi sebelum benda yang terbentuk meja dan kursi belum atau tidak ada.
Filsafat Materialisme terbagi menjadi 4 (empat) :
1. Materialisme Primitif
Faham materialisme yang berkembang pada zaman Yunani Kuno kira-kira 600 tahun sebelum masehi. Secara ilmiah masih sederhana tetapi merupakan cikal bakal dari paham materialisme. Materialisme primitif inilah berperan dalam perkembangan paham Materialisme selanjutnya.
2. Materialisme Mekanik
Materialisme mekanik memandang bahwa setiap gejala bagaikan mesin segala macam gerak dipandang hanya sebagai gerak mekanik yaitu pergeseran tempat dan perubahan jumlah saja tanpa perubahan secara kualitatif. Seperti gerak pada putaran rantai sepeda.
3. Materialisme Metafisik
Materialisme metafisik memandang bahwa :
o gejala alam sebagai suatu yang kebetulan saja.
o tidak ada saling hubungan antara materi (materi terpisah- pisah).
o gejala alam adalah diam, tidak bergerak, berhenti, statis, mati dan tidak berubah-ubah.
o proses perkembangan materi sebagai proses sederhana, tidak ada perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif.


4. Materialisme Dialektika (Dialectica Materialism--DIAMAT)
Matrialisme Dialektika adalah materialisme yang memandang segala sesuatu selalu berkembang sesuai dengan hukum-hukum dialektika. Hukum Dialektika: Hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara obyektif di dalam dunia semesta.

POKOK-POKOK PANDANGAN MATERIALISME DIALEKTIKA

A. DUNIA ADALAH MATERIL
Segala macam gejala yang ada di dunia mempunyai satu dasar yaitu materi. Dunia semesta ini pada dasarnya adalah materil dan dunia materil adalah satu-satunya dunia yang nyata (riil)
DEFINISI MATERI
Secara filsafat
Segala sesuatu yang ada di luar dan tidak tergantung pada kesadaran manusia; Tidak dicipta dan dikendalikan oleh sesuatu ide apapun dan dapat menimbulkan sensasi serta melahirkan refleksi di dalam fikiran manusia.
Secara ilmu alam (fisika)
Fisika hanya memandang materi yang ada di alam ini dari struktur (susunan) dan organisasinya. Misalnya: Kapur terdiri dari unsur kimia zat perekat, zat pewarna dan kalsium. Masing-masing unsur kimia mempunyai komposisi zat perekat 14 %, pewarna 6% dan kalsium 80%. Pengertian materi secara fisika hanya sebatas hal-hak tersebut.
Pengertian materi secara filsafat berdasarkan saling hubungan antara keadaan dengan fikiran, antara obyek dengan subyek. Sedangkan pengertian materi secara fisika berdasarkan tingkat perkembangan pengetahuan manusia terhadap alam. Kembali kita bicara tentang kapur tulis tadi. Ilmu Pengetahuan manusia hingga saat masih belum menemukan adanya zat atau unsur kimia baru dalam komposisi tertentu di dalam susunan kapur tulis. Oleh karena itu, maka kapur tulis dalam Fisika disimpulkan berdasarkan tingkat pengetahuan manusia itu tadi, kapur tulis yaitu terdiri dari 14% zat perekat, 6% zat pewarna dan 80% kalsium.
Jadi pengertian materi secara filsafat lebih luas dan bersifat umum, tidak sebatas benda-benda atau proses alam saja, tetapi juga termasuk fenomena-fenomena sosial. sedangkan pengertian materi secara fisika hanya sebatas tentang benda-benda atau fenomena alam saja.
Pengertian materi secara filsafat bersifat mutlak dan abadi karena bagaimanapun majunya pengetahuan manusia tidak akan mengubah kebenaran bahwa materi itu eksis secara obyektif dan tidak tergantung pada kesadaran manusia, sedangkan pengertian materi secara fisika bersifat relatif dan sementara karena bergantung pada perkembangan pengetahuan manusia.
DEFINISI IDE
Materialisme berpendapat bahwa ide (pikiran) lahir dan ditentukan oleh materi, keberadaan ide adalah sekunder.
Dua hal tentang ide :
Ide dilahirkan semacam materi tertentu yang akrab disebut otak atau organisme sistem saraf yang telah mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi, karena tanpa otak maka tidak akan ada ide atau fikiran.
Otak atau sistem urat saraf adalah hasil tertinggi dari proses perkembangan alam materil.
Ide adalah pencerminan (refleksi/manifestasi) dari kenyataan obyektif. Ide adalah dunia materil yang dicerminkan otak manusia dan diterjemahkan dalam bentuk-bentuk piikiran. Pencerminan hanya bisa terjadi dengan adanya kontak langsung antara kesadaran manusia dengan luar (materil) dengan adanya praktek sosial manusia. Oleh karena itu ide juga merupakan proses perkembangan praktek sosial manusia.
PERAN DAN AKTIF IDE
Walaupun Materialisme Dialektika berpendirian bahwa materi adalah primer dan jide adalah sekunder namun tidak mengabaikan peranan aktiif ide terhadap (perkembangan) materi dalam arti :
1. Ide adalah pencerminan dri kenyataan obyektif. Pencerminan disini bukanlah pencerminan yang sederhana dan langsung tetapi merupakan pencerminan yang aktif melalui pemikiran yang rumiit (canggi) sehingga dapat mencerminkan kenyataan obyektif apa adanya secara keseluruhan. Karena adanya peranan aktif ide, maka manusia dapat mengembangkan cara atau alat (perkakas) untuk memperbesar kemampuan dalam mengenal atau mencerminkan maupun mengubah keadaan.
2. Dalam mengenal dan mengubah keadaan materil manusia melakukannya dengan sadar untuk memenuhi kebutuhan praktek sosialnya. Ide revolusioner inilah yang mencermminkan hukum-hukum perkembangan kenyataan obyektif, memainkan peranan pendorong perkembangan keadaan.
Jadi, ide tergantung pada materi. Ide bisa menjangkau ke depan melampaui materi tetapi tidak bisa telepas dari materi. Materi menentukan ide, tetapi ide mempengaruhi perkembangan materi. Disinilah letak peranan aktif ide dalam praktek.
Praktek adalah aktifitas manusia mengenal dan mengubah keadaan materi. Praktek mempunyai kedudukan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kehhidupan manusia. Dengan praktek manusia melahirkan ilmu pengetahuan, menguji dan mengembangkannya. Perkembangan dan kemajuan teori ditentukan oleh sejauh mana kemajuan praktek. Disinilah letak dialektika antara teori dan praktek.
B. DUNIA MATERIL ADALAH SATU KESATUAN ORGANIK
Terdapat saling hubungan secara organik, saling bergantungan, saling mempengaruhi, saling menentukan satu sama lain pada dunia materil.
Contoh:
Apakah ada hubungan antara tuntutan melaksanakan Pasal 33 dengan pelaksanaan pendidikan gratis, ilmiah dan demokratis di Indonesia?
Bagaimana menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar, jika rakyatnya tidak mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang bagus? Bagaimana menjadi sebagai bangsa yang maju jika pendidikan tidak bisa diakses oleh sebagian rakyat karena biaya yang sangat mahal. Bagaimana mungkin menjadikan rakyat Indonesia menjadi cerdas dan berkepribadian, apabila pemerintah menyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar? Dan bagaimana mungkin pemerintah bisa menyediakan pendidikan yang gratis dan berkualitas ketika seluruh pembiayaan lebih diutamakan untuk membayar bunga dan hutang pokok serta menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada asing?
Ada hubungan yang sangat erat antara isu pasal 33 UUD 1945 yang memiliki kandungan, bahwa seluruh hal yang melingkupi hajat hidup orang banyak, haruslah dikuasai oleh Negara. Dalam hal ini, untuk mencukupi kebutuhan pendidikan gratis yang ilmiah dan demokratis dibutuhkan sebuah dana yang besar. Dana yang besar ini tidak akan mungkin bisa dipenuhi oleh Negara, jika seluruh aspek penting justru dikuasai oleh pihak asing. Mulai dari aspek pertambangan mineral, migas, kelautan bahkan pasar pun lebih banyak dikuasai oleh asing dan bukan negara, sehingga negara tidak memiliki kas yang cukup untuk pembiayaan pendidikan yang gratis, ilmiah dan demokratis. Maka menjadi penting bagi kita untuk menggelorakan secara massif tentang tuntutan programatik kita, yaitu Laksanakan Pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekwen sebagai solusi bagi negara untuk melaksanakan pendidikan yang gratis, ilmiah dan demokratis.
Saling hubungan gejalah-gejalah adalah obyektif
Saling hubungan gejala-gejala adalah suatu hukum yang obyektif berlaku di dunia semesta ini. Saling hubungan bukan merupkan terkaan atau buatan manusia. Saling hubungan memang ada secara obyektif. Oleh karena itu saling hubungan gejala-gejala bukan perwujudan dari ide-ide atau pikiran manusia dan sebagainya. Saling hubungan gejala-gejala tidak tergantung pada kesadaran manusia.

Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat dan waktu
Dengan mengakui bahwa saling hubungan gejala-gejalaa sebagai sebuah kenyataan obyektif maka kita juga harus mengakui bahwa segala sesuatu gejala juga tergantung pada keadaan, tempat dan waktu.
Contoh: Kita tidak akan mungkin melakukan gerakan politik klandestin/bawah tanah di era yang sudah demikian liberal. Karena jika kita menerapkan gerakan politik bawah tanah di era liberal semacam ini, niscaya eksistensi organisasi kita tidak akan terangkat.
Contoh lain: Tidak mungkin di negara barat kita mamaksakan agar hukum/adat timur dipakai disana sementara orang barat masih cinta dan mempertahankan adat tersebut.
C. DUNIA MATERIL SENANTIASA BERGERAK DAN BERKEMBANG
Dunia materil senantiasa bergerak dan berkebang sesuai keadaan, tempat dan waktu.
Gerak materi adalah gerak sendiri
Karena gerak adalah bentuk keberadaan yang tidak bisa dilepaskan dari materi maka dapat dikatakan bahwa materi mempunyai gerak sendiri sebab esensi materi adalah gerak (intern materi) yang paling menentukan, sedangkan gerak ekstern hanya mempengaruhi saja.
Contoh: Dalam suhu 50 derajat Celcius selama 21 hari maka telur akan menetaskan anak ayam, sedangkan dalam suhu dan waktu yang sama, batu tidak mungkin akan menetaskan anak ayam.
Ini artinya bahwa setiap materi mempunyai sifat gerak sendiri-sendiri yang tidak bisa disa makan dengan materi yang lain. Jadi, gerak dalam (faktor intern) yang paling menentukan, sedangkan gerak luar (faktor ekstern) hanya syarat saja.
Diam adalah salah satu bentuk gerak
Kita yakin bahwa materi senantiasa bergerak dan berkembang, namun tidak menutup kemungkinan adanya keadaan materi yang 'diam'. Diamnya materi bukan berarti materi itu berhenti bergerak atau materi itu telah hilang sifatnya yang esensial. Tapi 'diam'nya materi disebabkan terjadinya keseimbangan antara gerak dalam materi (faktor intern) dengan gerak luar (faktor ekstern). Artinya, ada kesamaan kualitas antara gerak dalam dengan gerak luar.
Contoh: Seandainya ada sebuah beban yang memiliki masa berat sebesar 2 ton, tidak akan mungkin bisa ditarik dengan sebuah mesin yang hanya berkapasitas tidak sampai 2 ton.

Contoh lain:
Dalam posisi kekuatan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan kroni yang benar-benar mampu memfragmentasi gerakan dengan konsesi-konsesi politik kekuasaan atau uang maka akan sangat berat bagi organisasi kita untuk menumbangkan pemerintahan SBY dengan politik front persatuan nasional. atau dengan pertanyaan mendasar, mengapa pemerintahan SBY sangat sulit untuk dirobohkan? Bukankah kita sering melihat di berbagai media, bahwa banyak sekali instrumen politik yang menyerang posisi SBY dan kroninya? Isu Turunkan SBY pun santer dimana-mana, akan tetapi tidak memberikan dampak serius pada posisi politiknya.
Tentu jawabnya adalah karena kekuatan revolusioner masih lemah, kecil atau mungkin karena kekuatan revolusioner masih seimbang dengan kekuatan reaksioner pro kekuasaan. Lemahnya kekuatan revolusioner ini karena tidak adanya tuntutan yang sama dalam gerakan revolusioner itu sendiri. Lemahnya kekuatan revolusioner ini karena tidak adanya tuntutan yang sama dalam gerakan revolusioner itu sendiri. Ada yang terjebak pada kanal-kanal isu yang sudah dipersiapkan oleh rezim SBY (korupsi an sich, lingkungan an sich, hukum an sich, dsb). Di sisi lain, ada yang  menyerang kekuasaan SBY dengan maksud untuk mendapatkan posisi strategis di area kekuasaan.
D. HUKUM DIALEKTIKA MATERIL
Berangkat dari pengertian bahwa HUKUM DIALEKTIKA adalah hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala yang berlaku secara obyektif dalam dunia semesta. Maka dapat ditarik benang merah bahwa saling hubungan dan perkembangan materi /gejala-gejala merupakan dua segi dialektika yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lainnya.
Ada 3 pokok hukum dialektika materil
1. Tentang Kontradikasi
Hukum tentang kontradiksi merupakan esensi dari hukum dialektika karena kontradiksi (pertentangan) mengungkapkan sumber atau asal-usul dan hakekat perkembangan. Hukum kontradiksi mengajarkan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian atau segi-segi yang berbeda atau kontradiksi dan gerak atau perkembangan sesuatu itu terutama disebabkan adanya saling hubungan yang berupa persatuan dan perjuangan antara segi-segi yang berkontradiksi yang ada di dalamnya.
1.a. Keumuman Kontradiksi
Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Bahwa dalam fenomena material terdapat kontradiksi-kontradiksi yang terjadi secara umum dalam seluruh proses gerak materi. Setiap hal tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Contoh: Dalam sejarah perkembangan masyarakat kita bisa melihat silih bergantinya kontradiksi yang terjadi. Pada tahap masyarakat Perbudakan terjadi kontradiksi kelas antara Tuan Budak dengan budak; kemudian pada tahap masyarakat Feodal terjadi kontradiksi antara kelas Tuan tanah dengan petani (buruh-tani) dan kontradiksi antara kelas bangsawan feodal dengan kelas borjuis yang koeksistensi dengan kelas proletar. Ketika tahap masyarakat Feodal tumbang dan diganti oleh tahap masyarakat baru yaitu masyarakat Kapitalisme, terjadi pertentangan klas (kontradiksi) antara klas borjuis (kapita lis) dengan klas proletar (buruh).
Dari contoh di atas kita dapat melihat dan sekaligus menyimpulkan bahwa dalam satu keseluruhan proses perkembangan materi senantiasa terjadi kontradiksi atau secara umum bisa dikatakan berlakunya hukum dialektika.
1.b. Kekhususan Kontradiksi
Kontrakdiksi mempunyai kekhasan yang membedakan hal satu dengan lainnya pada tingkat yang berbeda dari proses perkembangan. Juga mempunyai kekhususan dalamkontradiksi yang membedakan tingkat perkembangan yang satu dari lainnya.
Contohnya: Masih dengan contoh sejarah perkembangan masyarakat. Pada tahap masyarakat Perbudakan terjado kontradiksi antara budak dengan Tuan Budak, sementara pada tahap masyarakat Feodal terjadi kontradiksi klas tani dengan klas tuan tanah; dan apada tahap masyarakat Kapitalisme, kontradiksi terjadi antara klas Borjuis dengan klas proletar.
Kekhasan/ kekhusussan kontradiksi dalam contoh di atas adalah ciri khas masy. Perbudakan adalah kontradiksi antara budak dengan Tuan Budak. Tidak bisa disamakan dengan kekhasan masy. Feodal yang bercirikan kontradiksi antara tani dengan Tuan Tanah.
Kalau dalam masyarakat Feodal yang dipertententangkan adalah perihal kepemilikan tanah, maka dalam masyarakat Kapitalis yang dipertententangkan adalah kepemilikan modal dan alat-alat produksi. Dengan kata lain: Khasnya masyarakat Feodal adalah tanah sebagai yang dipertentangkan, sedangkan khasnya masyarakat Kapitalis adalah modal yang dipertentangkan. Dan lain-lain.
1.c. Kontradiksi pokok dan bukan pokok
Kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang menjadi poros dan memimpin semua kontradiksi bukan pokok. Dalam penyelesaian kontradiksi, maka kontradiksi pokok diutamakan.
Dalam setiap perkembangan hanya ada satu kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan menentukan. Kontradiksi pokok memainkan peranan yang memimpin kontradiksi-kontradiksi lainnya pada satu tingkatan perkembangan tertentu maka ia merupakan dasar persoalan yang harus dipecahkan lebih dulu dan hanya dengan demikian kontradiksi-kontradiksi lainnya baru bisa dan lebih muda diselesaikan.
Walaupun demikian bukan berarti kontradiksi-kontradiksi yang bukan pokok tidak ada peranannya atau pengaruhnya sama sekali terhadap penyelesainnya kontradiksi pokok. Sebaliknya perkembangan kontradiksi-kontradiksi itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap penyele saiannya kontradiksi pokok.
Contoh: Era pasca Soeharto tumbang terjadi pertentangan antara Kaum revolusioner/reformis dengan kaum reaksioner--pro satus quo (Habibie-Wiranto). Sementara di dalam tubuh kaum revolusioner/reformis sendiri juga terjadi kontradiksi pendapat--sikap terhadap sistem/penguasa Habibie-Wiranto.Misalnya kontradiksi antara AbrI dengan kelompok mahasiswa moderat.
Manakah kontradiksi pokok dan bukan pokoknya?
Kontradiksi pokoknya adalah kontradisksi antara Kaum Revolusioner / reformis dengan kaum Reaksioner-pro status quo. Ini kontradiksi yang harus didahulukan penyelesaiannya. Sedangkan kontradiksi antara kelompok revolusioner/reformis sendiri adalah kontradiksi bukan pokok. Kontradiksi bukan pokok (antara pro-demokrasi) ini harus ditunda dulu. INGAT, bukan diabaikan !. Ketika kontradiksi pokok terselesaikan maka secara otomatis kontradiksi bukan pokok turut terselesaikan.
1.d. Segi-segi yang kontradiksi
Setiap kontradiksi terdiri dari 2 segi yang mmempunyi arti peranan dan kedudukan yang berbeda, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada yang memimpin dan yang dipimmpin. Dalam keadaan tertentu dua segi itu berada dalam kedudukan yang seimbang tetapi bersifat relatif dan sementara.
Segi yang berperanan menguasai atau mendominasi dalam seluruh proses perkembangan mempunyai arti yang menentukan kualitas kontradiksi. Segi yang berperanan memimpin pada tingkat-tingkat perkembangan mempunyai arti yang menentukan terhadap arah yang dituju oleh perkembangan kontradiksi itu pada tingkatan tertentu.
Segi yang baru pada awal proses perkembangan kontradiksi masih mudah dan merupkan segi yang dipimpin dan dikuasai. Dalam proses selanjutnya ia akan tumbuh menjadi besar dan kuat sehingga memimpin dan mendominasi. Bila hal ini terjadi berarti kualitas kontradiksi itu telah mengalami peruubahan.
Contoh: di era Megawati menjadi presiden, terjadi kontradiksi antara Megawati dengan Menkopolhukan Susilo Bambang Yudhoyono. Megawatilah yang berkuasa, menentukan dan dominan dalam area kekuasaannya. Akan tetapi karena segi yang lemah tadi mampu mengambil ruang politik secara maksimal dengan menggunakan kesadaran massa yang moralis, ketika Pemilu 2004, SBY ganti memimpin, mendominasi, menentukan, mengarahkan dan menguasai. Contoh tersebut adalah kontradiksi anta relit politik.
2. Tentang Perubahan Kuantitatif ke Perubahan Kualitatif
Hukum perubahan kuntitatif keperubahan kualitatif menerangkan jalannya proses perkembangan segala sesuatu.
Perubahan kuantitatif adalah perubahan jumlah (bertambah/berkurang) susunan, hubungan dan komposisi materi yang berlangsung secara evolusioner sampai pada batas waktu tertentu. Perubahan kuantitatif merupakan syarat untuk menuju keperubahan kuantitatif.
Perubahan kuantitatif menyiapkan perubahan kualitatif dan perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang lama dan melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru. keduanya berlangsung terus menerus secara bergiliran.
3. Hukum tentang negasi dari negasi
Hukum negasi dari negasi menunjukan orientasi gerak dan perkembangan segala sesuatu. Hukum ini menggungkapkan pergantian kualitas lama dengan dengan kualitas baru dalaam proses perkembangan dan peningkatan dari bentuk-bentuk yang rendah dan sederhana kebentuk yang lebih tinggih dan kompleks.
Perkembangan materi mengulangi tingkat-tingkat yang pernah terlampui tetapi mengulanginya secara lain di atas yang lebih tinggi.
Contoh:
Dalam kehidupan kita secara pribadi, kita seringkali menghadapi sebuah persoalan. Akan tetapi, dari tiap fase perkembangan pemikiran dan psikologi kita sebagai manusia, senantiasa berkembang dan maju. Di fase anak, kita akan dihadapkan pada problematika anak, di masa remaja, kita akan dihadapkan pada problematika remaja dan begitu seterusnya. Persoalan antara kita dengan orang tua, akan senantiasa muncul, akan tetapi dari tiap fase akan mengalami sebuah tingkat perkembangan dari kualitas kontradiksinya. Segi-segi yang berkontradiksinya sama, antara kita sebagai anak dengan orang tua. Tetapi kualitas kontradiksi di tiap fase akan berbeda
E. PENUTUP
Demikianlah Hukum Dialektika Materil yang mengajarkan pada kaum pergerakaan bagaimana menyelesaikan atau mengakhiri suatu konntradiksi yang terjadi dalam masyarakat. Kontradiksi antara rakyt yang tertindas dengan kaum milietris kapitalis yang menindas hanya bisa diselesaikan dengan perubahan kuantitatif dalam hal ini metode perjuangan,teori perjuangan daan strategi taktik perjuangan Kemudian pasti akan disusul dengan Perubahan Kulaitatif berupa runtuh atau tumbangnya Masyarakat Militeris-Kapitalis yaitu masyarakat damai, masyarakat yang sosialis. 




 SENTRALISME DEMOKRASI DAN STRUKTUR ORGANISASI


I.       Mengapa Harus Berorganisasi?

a.   Organisasi sebagai kereta api
Kebanyakan orang mulai berorganisasi jika keinginan-keinginannya dipenuhi oleh organisasi tersebut. Berbagai latar belakang mendorong orang masuk dalam organisasi. Ada yang berlatar belakang heroisme, patriotisme, karir, ikut-ikutan, ingin tahu, dendam atau apapun juga sebagai motivasi awal. Namun sesuai dengan perkembangannya, organisasi akan mengarahkan setiap anggotanya sesuai dengan kemampuan masing-masing agar berguna buat kepentingan dan tujuan organisasi
Sebagai sebuah organisasi perjuangan, sebuah organisasi revolusioner sangat ditentukan oleh kekuatan massa rakyat, anggota dan kepemimpinannya. Tapi diatas semua itu: politik dan ideologilah yang akan lebih banyak menentukan watak perjuangan setiap anggota dan organisasi itu sendiri. Sebanyak apapun anggotanya, sekuat apapun fasilitas yang dimiliki oleh organisasi, ia akan tumpul dan tidak menjadi senjata perjuangan yang ampuh jika tidak dipimpin oleh ideologi dan politik.
Organisasi adalah alat untuk mencapai ideologi dengan politik atau cara tertentu. Untuk mencapai tujuan (ideologi) dan melalui cara (politik) tertentu tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa kepemimpinan, anggota atau tanpa dukungan massa rakyat yang luas. Maka, sebuah organisasi diperlukan sebagai alat yang menyatukan kekuatan setiap anggotanya, massa rakyat dan kepemimpinan dalam satu komando bersama.
Secara mudah untuk mengerti kesatuan antara pimpinan, anggota dan massa rakyat dalam sebuah organisasi adalah dengan mengambil perumpamaaan. Seperti sebuah kereta api, organisasi menelurkan lokomotif yang akan menarik dan memimpin perjalanan gerbong-gerbong (Cabang-ranting-anggota) yang berisikan penumpang (massa rakyat). Kereta api tersebut memerlukan cara atau jalan untuk mencapai tujuan akhirnya. Ia harus mampir dibeberapa stasiun, mengisi bahan bakar, memperbaiki mesin, menambah atau mengurangi gerbong, menambah atau mengurangi penumpang, sesuai dengan kekuatannya.

b.   Apa Itu Politik? Apa itu Ideologi?
Ideologi adalah tujuan akhir yang diinginkan atau sistem massa rakyat macam apa yang dicita-citakan. Sampai sekarang, ideologi yang menjadi jelas bagi perjuangan adalah ideologi yang berisikan nilai-nilai kerakyatan, keadilan dan demokrasi. Keinginan dan dorongan untuk membentuk masyarakat yang semulia-mulianya itulah yang menjadi batu bara bagi kereta api perjuangan kita. Ideologi itu sebagai bahan dasar terbentuknya pedang. Kekuatan sebuah pedang akan sangat ditentukan oleh bahan dasarnya. Jika bahan dasarnya tidak kuat dan mudah rusak maka pedang tersebut pun akan mudah rusak atau terpatahkan oleh lawan. Jika pedang tersebut terbuat dari baja yang tidak terkalahkan maka pedang tersebut tidak akan rusak dan patah oleh pedang apa pun juga. Ideologi adalah baja yang membentuk pedang untuk perjuangan.
Sementara itu, politik adalah rel kereta dan stasiun-stasiun perhentian yang memang harus dilewati untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, untuk menambah bahan bakar dan memeriksa kekuatan lokomotif yang menarik setiap gerbong. Politik adalah jurus-jurus memainkan pedang. Apakah pedang tersebut digunakan dalam jurus membabat, menangkis, menghindar, menyerang, menusuk leher atau jantung lawan. Politik adalah soal cara agar bisa menjatuhkan lawan agar lawan dapat dengan mudah dikuasai.

c.    Makna Demokrasi
Jika sebuah organisasi mencita-citakan dirinya untuk kepentingan seluruh anggotanya, kesamaan kepentingan haruslah merupakan kesepakatan bersama, baik menggunakan sebuah permusyawaratan ataupun setelahnya melalui kesepakatan atas hasil permusyawaratan. Dan hal tersebut haruslah juga termasuk di dalamnya mengenai bagaimana melaksanakan kesamaan kepentingan ini. Untuk itu, pembicaraan mengenai hal-hal tersebut haruslah melibatkan semua anggota organisasi. Proses inilah yang dinamakan demokrasi. Dan harus diingat, anggota adalah supir sekaligus mesin kendaraan yang bernama organisasi, sehingga hasil-hasil dari proses demokrasi tersebut harus juga dijalankan oleh semua anggota organisasi.
Jika anggota organisasi dipaksa untuk bekerja tanpa pernah ikut "menyupir" organisasi, maka organisasi itu tidak demokratis. Organisasi kemudian menjadi tak lebih menjadi sebuah kendaraan bagi individu-individu yang mengarahkannya. Jika hasil-hasil dari proses demokrasi tersebut tidak dijalankan oleh anggota-anggotanya, maka organisasi akan tidak memiliki makna dan berubah menjadi hanya kumpulan orang saja.
Makna demokrasi juga harus dipandang dalam hubungan anggota dengan organisasi. Seorang anggota yang baik haruslah paham bahwa setiap keputusan organisasi adalah berprinsip kepada tunduknya minoritas kepada mayoritas. Keputusan yang didukung oleh massa yang lebih banyak harus diterima oleh pihak minoritas, dan mereka tetap harus menjalankan keputusan itu.

d.   Apa itu Hirarki?
Ketika organisasi melingkupi jumlah anggota yang besar, ataupun menggapai jarak yang menghambat mobilitas anggota-anggota organisasi untuk menjalankan semua tugas-tugas organisasi, maka dibutuhkan lapisan-lapisan organisasi dari mulai untuk mengurus keseluruhan organisasi sampai untuk mengurus kumpulan anggota ataupun wilayah yang lebih bersifat lokal.
Lapisan-lapisan ini bertingkat mengerucut dalam hal jumlah organ-organnya. Ada ratusan komisariat, puluhan kota, belasan wilayah, dan satu kepemimpinan nasional. Tetapi tingkat perhatian kerjanya semakin meluas: sebatas kampus, sebatas kota, sebatas wilayah, dan senasional. Seseorang yang ditempatkan di organ tingkat nasional akan lebih memperhatikan persoalan-persoalan nasional, secara keseluruhan. Tidak sebatas satu kota, ataupun bahkan satu kampus. Meski begitu, ia tidak boleh melupakan bahwa persoalan yang lebih lokal tetap harus menjadi perhatiannya, karena persoalan yang lebih lokal adalah juga persoalan secara nasional.

e.    Sentralisme
Dalam melakukan perjuangan, dengan segala keterbatasan yang kita alami, konsentrasi kerja (memprioritaskan kerja) adalah sangat diperlukan. Daya pukul organisasi kita akan selalu terbatas dibanding dengan kondisi obyektif, baik itu kondisi alam ataupun lawan-lawan kita. Ketika perhatian dan sumber daya organisasi terpencar-pencar ataupun sulit diarahkan/dikonsentrasikan, maka organisasi revolusioner tak akan mampu melakukan perlawanan.
Sentralisme bermakna memusatkan seluruh kerja dan sumber daya kepada kepemimpinan organisasi. Sentralisme juga bermakna hanya ada satu keputusan organisasi dalam setiap persoalan organisasi, dan semua organ dan anggota harus tunduk kepada keputusan tersebut.
Dalam kaitannya dengan hirarki, sentralisme dijabarkan sebagai lapisan yang mengurus cakupan kerja ataupun jumlah orang yang lebih kecil haruslah berada di bawah dan bertanggung jawab kepada lapisan organisasi yang mengurus cakupan kerja ataupun jumlah orang yang lebih besar. Komisariat harus patuh kepada kota dan kota harus patuh kepada wilayah, kemudian wilayah harus patuh kepada nasional. Tidak ada keputusan dari organ yang di bawah yang dibolehkan bertentangan ataupun menghambat keputusan organ yang lebih tinggi dalam hirarki. Dalam kerja-kerja administratif, sentralisme juga bermakna adanya laporan dari organ yang lebih rendah ke organ di atasnya.
Sentralisme juga harus berarti bahwa seluruh aset-aset organisasi haruslah dapat dipergunakan sesuai dengan perintah organisasi, baik keuangan ataupun alat-alat kerja. Dengan begitu, seluruh aset terbaik dapat dikontrol oleh organisasi dan dapat dipergunakan untuk melakukan perlawanan yang terkonsentrasi
Terakhir, sentralisme juga bermakna bahwa anggota-anggota terbaik, termilitan, dan teruji pengalamannya haruslah ditempatkan dalam kepemimpinan organisasi. Semua organ-organ Liga, dari tingkat sel sampai wilayah haruslah memberikan anggota-anggota terbaiknya untuk organ-organ yang di atasnya.
Selain berhubungan dengan hirarki, di setiap lapisan organisasi setiap anggota yang ditempatkan di lapisan tersebut harus tunduk dan patuh kepada setiap keputusan lapisan organisasi tersebut. Seorang anggota Eksekutif Kota haruslah patuh kepada keputusan rapat Eksekutif Kota.


II. Prinsip-Prinsip Dasar Organisasi
Dalam organisasi dikenal prinsip-prinsip organisasi yang berlaku secara keseluruhan disetiap tingkatan dan lini organisasi. Prinsip-prinsip ini melekat di setiap anggota, pimpinan dan organ-organ didalam organisasi. Ada empat prinsip penting yang menjadi landasan utama, yaitu:
a.      Garis Massa
Massa berarti sekelompok orang yaitu bagian dari rakyat yang sudah sadar politik, sadar akan ketertindasannya serta keharusan untuk melawan. Prinsip garis massa adalah prinsip yang mengatur agar organisasi tidak jatuh pada komandoisme atau kecenderungan untuk bergerak jauh meninggalkan kesadaran politik obyektif massa dan situasi politik sehingga organisasi hanya bergerak berdasarkan pikiran-pikiran subyektifnya saja yang jauh diatas keberanian massa rakyat. Massa rakyat adalah tulang punggung dalam perjuangan demokrasi, massa rakyatlah yang akan bergerak untuk merebut kekuasaan dan masa depannya untuk kepentingan massa rakyat juga. Garis massa hanya akan bisa dimiliki oleh organisasi progresif yang selalu berada dalam perjuangan bersama dengan massa rakyat. Garis massa pun mempertegas arti bahwa perjuangan ini semua adalah untuk kepentingan massa rakyat. Dalam pelaksanaannya setiap anggota harus hidup ditengah massa rakyat, mendengar pandangan-pandangan rakyat dan kemudian menyimpulkan serta melaporkan pada organ yang diatasnya. Organ yang lebih atas kemudian mempelajari dan memutuskan langkah dan gerak yang harus diambil oleh anggota pada massa rakyat dimana dia tinggal dan berjuang bersama. Massa rakyat adalah tulang punggung dalam perjuangan demokrasi, massa rakyatlah yang akan bergerak untuk merebut kekuasaan dan masa depannya untuk kepentingan massa rakyat juga. Garis massa hanya bisa dimiliki oleh organisasi yang selalu berada dalam perjuangan bersama dengan massa rakyat. Jika dapat diperas garis maa adalah prinsip yang memagari organisasi agar tak terpisah dan menjadi elitis.
b.      Kolektivisme
Kolektivisme erat hubungannya dengan kepemimpinan. Artinya kepemimpinan organisasi tidak bisa berdasarkan individual namun merupakan kerjasama dalam sebuah kolektif baik dari tingkatan paling atas maupun ditingkatan paling rendah. Bahkan setiap anggota yang bekerja dikalangan massa rakyat (yang melakukan pengorganisiran) hendaknya mempraktekan kepentingan kolektif tersebut. Kolektivisme juga menyangkut pada persoalan kehidupan sehari-hari anggota. Setiap anggota adalah bagian dari sebuah kolektif atau bahkan lebih dari satu. Kesulitan seorang kawan adalah kesulitan bersama dan harus dipecahkan secara bersama-sama. Persoalan kolektif adalah persoalan setiap anggota kolektif.
c.       Kepeloporan
Kepeloporan berarti selalu mengambil inisiatif, merintis, pemula. Kepeloporan politik berarti minimal orang/kelompok/organisasi lain menerima dan mendukung program politik kita (maksimal orang/kelompok/organisasi lain masuk dan menjadi bagian secara organisasional pada organisasi kita). Prinsip kepeloporan juga untuk mengatur agar organisasi tidak terjebak pada kecenderungan buntutisme, yaitu suatu praktek organisasi yang bergerak berda dibelakang kesadaran politik obyektif massa dan situasi politik, sehingga keberanian massa rakyat yang seharusnya terpimpin menjadi tidak terpimpin dan mengarah pada anarkhisme. Kepeloporan hanya bisa dimiliki oleh sebuah organisasi yang berisikan anggota yang tertempa secara ideologi dan politik.
d.      Sentralisme Demokrasi
Dalam sebuah organisasi revolusioner, ketika anggota juga ikut menentukan jalannya organisasi, maka sentralisme yang dibuat haruslah diarahkan oleh permusyawaratan-permusyawaratan anggota. Artinya, penggunaan aset-aset organisasi, penentuan arahan sehari-hari, dan penempatan anggota-anggota terbaik juga harus mengikuti kehendak anggotanya.
Dalam konteks pengambilan keputusan atau pemberian arahan organisasi, sentralisme demokrasi bermakna semua keputusan dari organ yang lebih tinggi harus dipatuhi oleh organ yang lebih rendah, karena keputusan organ yang paling tinggi tersebut harus dibentuk dari laporan dan rekomendasi organ yang lebih rendah. Jikapun tidak ada laporan dan rekomendasi dari organ yang di bawahnya, para anggota yang ditempatkan di eksekutif nasional,  dapat mendasarkan dirinya kepada garis-garis besar arahan organisasi. Garis-garis besar arahan organisasi selama sebuah periode haruslah ditentukan oleh sebanyak-banyaknya anggota organisasi dalam Kongres.
Dalam prinsip sentralisme demokratik, pertemuan berkala sebagai proses demokrasi harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Pertemuan berkala ini memberikan arahan-arahan kepada orang-orang yang ditempatkan dalam kepengurusan eksekutif (penanggungjawab pelaksanaan hasil-hasil permusyawaratan tersebut). Ini berlaku untuk semua lapisan organisasi. Sedangkan pelaksana dari hasil-hasil permusyawaratan itu adalah seluruh anggota, tergantung lapisan mana permusyawaratan itu di adakan. Jika tingkat kota, maka seluruh anggota di kota tersebut wajib melaksanakannya. Jika tingkat nasional, maka seluruh anggota organisasi tersebut wajib melaksanakannya.
Karena keterbatasan ruang, waktu, dan juga teknologi memang sampai saat ini permusyawaratan, terutama kongres, belum bisa melibatkan secara aktif dan langsung seluruh anggota organisasi. Akan tetapi prinsipnya sekali lagi, seluruh permusyawaratan yang ada dalam organisasi harus melibatkan anggota sebanyak-banyaknya, tergantung lapisan organisasinya. Adanya penggunaan perwakilan dalam organisasi Liga, karena secara finansial,  fasilitas, dan kerja kita belum mampu melibatkan seluruh anggota dalam permusyawaratan seperti konferensi wilayah dan kongres.
Ini memerlukan siasat yang harus disesuaikan dengan kondisi obyektif. Kondisi-kondisi yang aman damai kita bisa memulainya dengan permusyawaratan-permusyawaratan di tingkat kampus-kampus lalu bertingkat sampai ke nasional. Namun dalam kondisi represif ataupun dalam keadaan potensi perlawanan rakyat yang siap meledak, bisa jadi hanya sebatas mengirimkan wakil dari kepengurusan eksekutif tingkat kota dan wilayah.
Selain dalam bentuk-bentuk permusyawaratan, dalam keseharian sentralisme demokratik mengambil bentuk korespondensi surat-surat dari Komisariat sampai Eksekutif Nasional dan sebaliknya. Keputusan harian (surat-surat instruktif) dari kepemimpinan nasional haruslah berdasarkan laporan dan rekomendasi serta kritik dari lapisan organisasi di bawahnya. Sampai permusyawaratan berikutnya, organ-organ yang lebih rendah harus selalu mematuhi keputusan organ yang lebih tinggi. Jikapun terjadi kesalahan instruksi, dengan segera organ yang lebih rendah mengkritik organ yang lebih tinggi.
Dalam sentralisme demokratik, secara prinsip tidak ada yang memisahkan satu kota dengan kota lain, satu basis dengan basis lain, dan tugas eksekutif baik kota, wilayah, dan nasional adalah bagaimana menciptakan keterkaitan dan kesinambungan antar organ-organ di dalam Liga, sesuai dengan hasil-hasil permusyawaratan anggota di tingkat lapisannya masing-masing. Karenanya dalam sentralisme demokratik tidak ada organ yang lebih rendah menolak kehadiran utusan yang lebih tinggi, dengan mengatakan: “Basis harus punya otonomi!”
Tidak demokratis jika organ basis (sekelompok orang atau minoritas) menolak wakil dari seluruh anggota lainnya (mayoritas), dan tidak sentralis ketika menganggap organ basis tersebut tidak harus menyerahkan aset-asetnya kepada keseluruhan organisasi.
Lalu apakah ini tidak akan mematikan organ-organ yang di bawahnya ataupun akan membuat organisasi akan dicengkeram oleh para eksekutif? Jelas jika hanya melihat sepotong seperti ini ataupun menjalankan sebatas ini memang akan seperti itu. Sekali lagi, sentralisme demokratik selalu harus dijalankan dengan melalui interaksi aktif antara para eksekutif organisasi dengan massa yang dipimpinnya. Instruksi pimpinan harus melalui dan menghadapi laporan, kritik, dan rekomendasi anggota (dengan saling berargumen). Ketika tiga hal terakhir tidak ada, wajar organisasinya tidak demokratis, karena partisipasi aktif anggota juga akan menentukan demokratis atau tidaknya organisasi Liga kita ini. Tetapi apakah ketika tidak ada laporan, kritik, dan rekomendasi rutin dari organ yang lebih rendah, instruksi organ yang lebih tinggi harus ditolak mentah-mentah, jelas juga tidak. Instruksi organ yang lebih tinggi haruslah tidak bertentangan dengan hasil-hasil kongres dan dewan nasional. Hanya jika bertentangan dengan kongres dan dewan nasional Liga, maka instruksi organ yang lebih tinggi dapat ditolak.

III.          Prioritas Organisasi dan Standar tetap Organisasi

Kerja atau tugas prioritas dan standar tetap organisasi adalah strategi dan taktik dalam berorganisasi. Organisasi perjuangan dibangun untuk memberikan arahan-arahan perjuangan politik terhadap situasi politik yang cepat berkembang. Oleh karena itu standar tetap organisasi bersifat mengabdi pada kerja prioritas. Namun standar tetap organisasi harus tetap ada supaya dapat merespon kebutuhan prioritas secara maksimal.

a.            Apa arti Standar tetap Organisasi?

Walaupun standar tetap organissai bersifat taktis dan mengabdi pada kerja atau tugas prioritas, namun stndar tetap organisasi adalah persediaan yang harus tetap terpelihara dengan disiplin yang ketat. Sebuah organisasi memiliki standar perkembangannya berdasarkan ketetapan-ketetapan yang tertinggi yaitu Rapat Umum Organisasi. Standar mengarahkan aturan-aturan, tata tertib sampai petunjuk pelaksanaan dalam berorganisasi.

b.      Apa saja yang harus menjadi standar tetap organisasi?

Yang harus menjadi standar tetap organisasi secara umum, adalah:
1.      Soal rapat-rapat kepengurusan atau departemen
2.      Mekanisme diskusi, laporan dan instruksi
3.      Sistem, silabus dan kurikulum pendiduikan
4.      Sistem rekrutmen dan syarat keanggotaaan
5.      Sistem dan level keanggotaan
6.      Tugas dan tanggung jawab anggota
7.      Pengembangan organisasi

c.       Apa arti kerja prioritas?
Prioritas adalah sebuah konsentrasi kerja strategis. Kerja prioritas bersifat merespon politik yang cepat dengan efisien. Untuk itulah organisasi dibangun dan dipelihara. Prioritas terdiri dari beberapa penggolongan, yaitu:
1.      Prioritas Isu/Tuntutan
2.      Prioritas Geografis
3.      Prioritas Sektor
4.      Prioritas Bentuk Perjuangan
5.      Prioritas Departemen
6.      Prioritas Momentum

Kerja-kerja prioritas ini seharusnya tidak boleh lama mengganggu standar tetap organisasi atau sebaliknya. Bahkan antara standar tetap organisasi dan kerja-kerja prioritas adalah saling berdialektis untuk saling menguatkan. Apabila kerja prioritas ini mengganggu standar tetap organisasi maka organisasi akan mengalami kerusakan di beberapa tempat.
Kerusakan ini akan menghambat perkembangan dan kehidupan organisasi. Apabila standar tetap organisasi menghambat atau tidak bisa melihat kerja dan tugas prioritas yang harus segera dilaksanakan maka organisasi hanya sebagai sebuah birokratik yang tidak mampu merespon kebutuhan strategis perjuangan.

IV.          Menjalankan Kerja Organisasi
Kita telah membahas prinsip-prinsip umum sentralisme demokratik sebagai alat penentuan dan penjalanan kerja-kerja revolusioner kita. Kita telah mengetahui bahwa sentralisme demokratik adalah sentralisasi aktivitas kita untuk membangun kepemimpinan yang kuat, siap tempur, efektif, dan fleksibel, yang di dasari oleh sebuah keputusan dan kesepakatan seluruh anggotanya. Namun, secara lebih teknis, bagaimana cara menjalankannya, ketika konsekuensi dari sentralisme demokratik tidak adanya pemisahan yang menyebabkan pola organisasi para penindas yaitu pengurus dan anggota lainnya yang pasif. Sentralisme demokratik tidak mengijinkan adanya pemisahan birokrasi dengan rakyat. Apakah kita tidak perlu membagi-bagi tugas lagi? Semua dikerjakan oleh semua? Untuk menjawabnya mari kita lihat satu persatu.

Kerja Kolektif dan Penanggung Jawab

Kerja-kerja revolusioner kita adalah kerja-kerja keseluruhan organisasi. Dengan kata lain, kerja-kerja semua anggota. Kita tidak mengenal anggota yang tidak aktif, seluruh anggota harus memiliki tanggung jawab kerja karena kita tidak memisahkan antara pengurus dengan anggota dalam hal kerja.
Namun, karena sekali lagi organisasi adalah gabungan dari individu-individu yang memiliki pemikiran masing-masing tanpa adanya unsur yang akan menyatukan pemikiran tersebut dalam keseharian maka setiap anggota bisa jadi bekerja sekehendaknya sendiri. Unsur ini akan memberikan arahan bersama atas kerja-kerja yang dilakukan. Dalam Liga, unsur ini diwujudkan dengan pembangunan struktur organisasi yang memiliki fungsi untuk menggalang seluruh anggota dalam kerja-kerja aktif sehari-hari organisasi.
Struktur organisasi haruslah dibangun berdasarkan kondisi organisasi (keanggotaan, cakupan wilayah, dan prioritas kerja). Artinya, struktur berdiri di atas kerja dan mengarahkan kerja itu sendiri. Tak ada guna membuat banyak departemen, ataupun struktur eksekutif kota ketika tidak ada kebutuhan kerja yang mendasarinya. Tak guna membuat departemen urusan transportasi, ketika transportasi bukanlah hal yang sulit dilakukan. Tak guna membuat struktur wilayah baru ketika kota yang dikoordinasikan baru satu buah. Birokrasi berfungsi untuk menghidari kerja yang tumpang tindih (overlapping) bukan untuk menciptakan kerja yang tumpang tindih.
Kawan-kawan yang bertugas di organ-organ pimpinan seperti Komisariat, Eksekutif Kota, sampai Eksekutif Nasional adalah anggota-anggota yang harus menggalang anggota dalam kerja-kerja aktif, memberikan arahan-arahan kerja, dan memastikan (mengontrol) kerja-kerja berjalan sesuai dengan rencana. Karenanya mereka haruslah dipilih oleh anggota lainnya atas dasar bahwa merekalah yang dianggap terbaik (dari pengetahuan dan pengalaman kerja).
Kepemimpinan anggota-anggota yang ditempatkan di struktur kepemimpinan dipertanggungjawabkan secara rutin dalam permusyawaratan-permusyawaratan organisasi baik konferensi-konferensi komisariat, kota, wilayah, dewan nasional, dan konggres. Tetapi harus tetap diingat bahwa berjalannya organisasi tetaplah tanggung jawab seluruh anggota, sebagai sebuah kolektif, bukan sebatas para pengurus.

 

Bidang Kerja (Departemental) dan Teritori (Wilayah) Kerja

Dalam membagi-bagikan tugas organisasi (membangun struktur) ada dua hal yang mendasarinya. Pertama adalah bidang kerja, yaitu jenis-jenis ataupun perhatian kerja. Secara umum, bidang kerja revolusioner ada tiga hal: aksi, pendidikan, dan penyediaan bacaan. Aksi-aksi berfungsi sebagai sarana aktivitas politik terbuka dalam melawan penindasan. Pendidikan berfungsi membentuk pola pikir yang relatif seragam pada anggota (ideologi organisasi) dan memberikan keahlian-keahlian dalam melakukan kerja-kerja. Dan penyediaan bahan bacaan adalah sarana untuk memperkaya anggota-anggota dengan informasi-informasi (pengetahuan) yang mereka butuhkan dalam menjalankan roda organisasi.
Tiga hal tersebut adalah kerja-kerja harian sebuah organisasi revolusioner. Departemen-departemen adalah struktur organisasi yang bertanggung jawab atas jalannya kerja-kerja harian ini ataupun kerja-kerja rutin yang mendukung (diperlukan) untuk berjalannya kerja-kerja ini. Secara rutin departemen-departemen dalam struktur kepemimpinan (komisariat sampai dengan nasional) memberikan arahan-arahan (instruksi), menyediakan fasilitas-fasilitas organisasi, dan melakukan perencanaan-perencanaan, sehingga anggota dapat dengan baik melakukan kerja-kerja organisasi.
Selain membawahi kerja-kerja rutin dalam bidang-bidang departemental, struktur juga harus membawahi distribusi kerja yang menangani wilayah, kota, dan komisariat. Struktur ini berhubungan dengan tempat kerja dari kerja-kerja departemental. Struktur ini juga disusun vertikal (hirarki) untuk membagi tingkat perhatian dan fokus kerja.
Eksekutif kota lebih fokus kerjanya untuk mengurus komisariat-komisariat yang ada di dalam kotanya dan yang harus menjadi perhatiannya adalah kondisi obyektif kotanya. Eksekutif Wilayah fokus kerjanya adalah mengurus kota-kota yang ada di bawahnya dan perhatiannya adalah kondisi obyektif tingkat wilayah. Hal yang sama untuk Eksekutif Nasional dan Komisariat.
Namun dalam pembangunan kota dan wilayah janganlah mengikuti logika pembagian wilayah yang dibuat oleh penguasa. Pada saat kita masih kecil, kita tidak akan mampu mengikutinya. Contohnya, ketika belum cukup anggota dalam sebuah provinsi untuk memenuhi struktur Eksekutif Wilayahnya, ada baiknya ia digabungkan saja dengan provinsi lain yang terdekat untuk memenuhi struktur penuhnya. Karena itu dalam AD/ART kita terdapat syarat-syarat minimal pembentukan struktur Komisariat, Eksekutif Kota, dan Wilayah. Artinya, struktur yang kita bangun haruslah berlandaskan kerja. Massa yang masih kecil tidak membutuhkan struktur yang banyak, cukup yang dapat memenuhi pembagian kerja-kerja departemental saja. Sedangkan massa yang sudah sangat membesar membutuhkan struktur baru untuk memberikan kepemimpinan dan fungsi-fungsi adminstratif lainnya. (*)

 





 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar