PROFIL



 LMND
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi 
National Student League For Democracy

Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi atau biasa disingkat dengan LMND dan sering disebut dengan akronim elemende adalah sebuah organisasi perjuangan massa mahasiswa berskala nasional yang memiliki sifat terbuka dan berwatak progressif.
Dalam rentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, Gerakan Mahasiswa (Pemuda) menjadi bagian tak terpisahkan dalam memberi kepeloporan bagi gerak perubahan bangsa ke arah yang lebih baik. Seperti pernah dikatakan oleh Pramudya (Pram) Ananta Toer Dalam sejarah modern kita, selamanya Angkatan Muda menjadi motor perubahan ke arah yang lebih maju, dan masih menurut Pram bahwa Mahkota sebuah bangsa adalah pemuda, dan sepanjang segala zaman pemuda yang menoreh pada perubahan sejarah
“…Menyusul tertangkapnya hadiah terbesar (istilah pemerintah AS untuk Indonesia setelah Bung Karno jatuh dan digantikan oleh Soeharto), demikian hasil penelitian Dr. Brad Sampson, saat meraih PhD dari Northwestern University AS. Sebagaimana yang dikutip oleh Jhon Pilger dalam buku dan film dokumenternya The New Rules of the World, hal tersebut menandai proses penjajahan gaya baru dalam perundang-undangan dan kebijakan terhadap bangsa Indonesia oleh VOC berbaju baru atau Neoliberalisme.  Kondisi ini bermula pada November 1967, ketika para ekonom Orde Baru yang dikenal dengan sebutan The  Barkeley Mafia, dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro, menghadiri konferensi istimewa bersama para pengusaha dan kapitalis paling berkuasa di dunia seperti David Rockefeller di Jenewa, Swiss, dengan disponsori The Time-Life Corporation. Melalui Konferensi tersebut, kekayaan alam Indonesia dibagi-bagikan kepada perusahaan-perusahaan minyak dan bank asing, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Sebagai tindak lanjut, Orde Baru mengeluarkan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Sejalan dengan proses stabilisasi ekonomi yang ramah dan baik hati terhadap perampokan sumber daya alam Indonesia, stabilisasi politik dengan mengedepankan pendekatan keamanan melalui represifitas menjadi metode utama Orde Baru dalam menghadapi protes dan kritik yang muncul dari rakyat.
Akan tetapi, seperti kata seorang aktivis dan pejuang demokrasi dari Filipina, Emanuel F. Lacaba, “… Disini diantara Buruh dan Tani, Kami Generasi yang kalah menemukan kebenaran dan kekuatannya kembali. Inilah satu-satunya rumah kami…”. Gerakan mahasiswa yang pada saatnya kemudian berhasil menumbangkan rezim kapitalis-militeristik, Soeharto, memperoleh kekuatan ideology kerakyatan dalam nafas perjuangannya. 
Gerakan mahasiswa, setelah memperoleh pengalaman perjuangan dari pendahulunya yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan Soeharto dengan kekuatan kampus, mengalami kemunduran paska diberlakukannya kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) pada tahun 1978 (membubarkan dan melarang keberadaan alat perjuangan mahasiswa intra kampus yaitu Dewan Mahasiswa); secara perlahan namun pasti Gerakan Mahasiswa akhirnya menemukan format baru dalam pergerakannya.
Sesuai gerak dialektika materi sejarah, setiap penindasan akan menciptakan bentuk perlawanannya. Dalam situasi represi dan control ketat aparat birokarsi kampus dan tentara (berdirinya Resimen Mahasiswa/Menwa ditiap gerbang kampus) yang memagari ruang geraknya, gerakan mahasiswa tidak kehilangan akal. Berawal dari diskusi dari kos ke kos, kemudian melahirkan kelompok-kelompok diskusi (kelompok study) di kampus-kampus. Dari kelompok-kelompok diskusi tersebut, gerakan mahasiswa mulai menggandeng kekuatan rakyat melalui dengan jalan mengirim kader-kader kelompok study ke sektor rakyat (buruh, tani dan kaum miskin kota). Selanjutnya gerakan mahasiswa mulai membentuk komite solidaritas perjuangan dan komite-komite aksi di kampus dan kota atau membangun komite solidaritas seperti Kelompok Solidaritas Korban Pembanguan Kedung Ombo (KSKPKO) atau Komite Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat Badega, dll. Dengan metode perjuangan tersebut gerakan mahasiswa memperoleh pandangan baru bahwa karakter gerakan mahasiswa elitis dan moral force yang membayang-bayangi gerakan mahasiswa pendahulunya, dapat ditanggalkan. Sejak saat itu, gerakan mahasiswa mulai bersatu bersama rakyat yang selama ini diperjuangankan hak-hak dasarnya.
Komite aksi mahasiswa yang tumbuh berkembang dari berbagai kelompok diskusi ini, secara organisasional mengalami  kemajuan melalui penyelenggaraan konsolidasi di dalam dan diluar kampus. Di Yogyakarta muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang. Konsolidasi antar kampus, kota kemudian berlanjut pada level nasional. Pada bulan November 1992, di Cisarua, Bogor, dibentuk organisasi mahasiswa tingkat nasional yang bernama  Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI) atau Student solidarity for Democracy in Indonesia (SSDI). SMDI merupakan organisasi payung yang mewadahi organ-organ lokal untuk mengurangi sektarianisme dan diletakkan dalam sebuah kesatuan aksi dan kesatuan tindakan politik secara nasional. Secara politik SMDI merupakan jalan strategi kerakyatan gerakan mahasiswa dan secara organisasional dijalankan dalam sebuah aksi yang terencana di bawah kepemimpinan Andi Munajat. SMDI kemudian berganti nama menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dalam konferensi pada bulan Agustus 1994 di Jogjakarta. Dari sini, gerakan mahasiswa telah menemukan kekuatannya bersama rakyat yang turut terlibat dalam perjuangan demokrasi dan keadilan social : menumbangkan kekuasaan otoriter, korup dan antek modal internasional (SOEHARTO) pada 21 Mei 1998.
Meski rezim otoriter dan korup, Soeharto, telah berhasil dijatuhkan; sebagian gerakan mahasiswa atau komite aksi yang tumbuh berkembang sejak tahun 90-an menganggapnya hanyalah suatu kemenangan kecil. Kemenangan kecil ini harus menjadi batu loncatan bagi terbukanya sistem demokrasi rakyat yang mengakui daulat rakyat sehingga dapat menjadi jalan bagi perwujudan kesejahteraan dan keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia.
Mereka menyimpulkan bahwa proses transisi demokrasi pada tahun 1998 masih meninggalkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru, belum diadilinya pelaku kejahatan HAM dan KKN Soeharto beserta kroni-kroninya. Sehingga dibutuhkan sebuah organisasi perjuangan yang mampu menjadi alat untuk menuntaskan tujuan reformasi total dari kekuatan orde baru, yaitu sebuah organisasi yang mampu menjadi alat dalam perjuangan sistematis dan terprogram secara nasional. Gerakan mahasiswa atau komite-komite aksi tersebut memandang perlu segera dibangun konsolidasi nasional dalam menghadapi medan perjuangan baru paska kejatuhan Soeharto.
Dimulai oleh konsolidasi 11 komite aksi dari sepuluh kota yang memandang bahwa perlawanan terhadap Soeharto dan Orde Baru harus diarahkan pada terwujudnya revolusi demokrasi sebagai syarat bagi pengakuan hak demokrasi rakyat, terbentuklah sebuah wadah persatuan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT). Meski usia FNRT tidak berlangsung lama, namun konsolidasi persatuan tersebut dapat memberikan kesadaran baru terhadap makna sejati sebuah organisasi perjuangan yang memiliki daya dan kekuatan berkelanjutan dalam menghadapi setiap perubahan situasi paska kejatuhan Soeharto. Atas dasar kebutuhan tersebut, beberapa komite aksi yang pernah tergabung dalam FNRT, kemudian menggalang inisiatif untuk melanjutkan konsolidasi dari komite-komite aksi tersebut pada Agustus 1998. Hasil dari konsolidasi baru ini adalah disepakatinya wadah baru yang bernama Aliansi Demokrasi (ALDEM). Melalui wadah baru ini, komite aksi yang tergabung dalam ALDEM berhasil menerbitkan sebuah majalah ALDEM dan sukses mengalang aksi nasional pada 14 September 1998 dengan tuntutan Cabut Dwi Fungsi ABRI dan Reformasi Total.
Patah Tumbuh Hilang Berganti, Akibat hilangnya koordinasi diantara komite aksi tersebut menjelang Sidang Istimewa pada November 1998, eksistensi ALDEM pun tak dapat dipertahankan. Namun, komite aksi komite aksi mahasiswa, khususnya di Jakarta, tidak mengendurkan perlawanannya dalam menghadang kembalinya sisa sisa kekuatan Orde Baru yang mencoba kembali mengambil kesempatan pada momentum Sidang Istimewa, November 1998. Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan rakyat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Ini merupakan demonstrasi lanjutan setelah sehari sebelumnya, 11 November 1998, demonstrasi mahasiswa dan rakyat yang bergerak dari Salemba dibubarkan paksa oleh Pasukan Keamanan Swakarsa (Pamswakarsa) di komplek Tugu Proklamasi.
Pada demonstrasi tersebut, mereka menolak Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa dan rakyat tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik (Dwi Fungsi ABRI), pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru serta tuntutan pembentukan Pemerintahan Transisi sebagai alat untuk melakukan perubahan system yang radikal dari anasir-anasir dan sisa-sisa kekuatan Orde Baru.
Demonstrasi tersebut, yang sejak siang hari telah diblokade aparat kepolisian dan tentara, akhirnya berujung bentrokan fisik yang menyebabkan puluhan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit. Salah satu korbannya adalah seorang pelajar, Lukman Firdaus, yang mengalami luka berat dan akhirnya meninggal dunia pada beberapa hari kemudian. Situasi ini menciptakan simpati dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat yang kembali turun ke jalan Semanggi, pada 13 November 1998. Gelombang perubahan untuk menuntaskan reformasi total sudah tak dapat dibendung lagi. Meski harus berhadapan dengan desakan mobil berlapis baja dan senjata dari aparat keamanan yang mencoba membubarkannya, mahasiswa dan rakyat yang telah bersatu tetap bertahan pada tuntutannya. Akibat kebrutalan aparat keamanan ini, telah menimbulkan korban tewas sebanyak 17 orang mahasiswa dan rakyat. Peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan Tragedi Semanggi I.
Sementara itu perubahan situasi politik yang begitu cepat mengiringi terjadinya demonstrasi mahasiswa dan rakyat. Gerak situasi politik ini, bagi sebagian kelompok gerakan mahasiswa progresif, dipandang perlu untuk segera dijawab dengan strategi dan metode perjuangan yang selaras dengan kondisi objektif yang berlangsung. Sebagai upaya untuk mempertajam gagasan tentang Pemerintahan Transisi serta langkah-langkah strategis yang berkembang pada saat itu, diselenggarakanlah Rembug Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI) ke I di kampus Udayana, Bali, pada akhir Februari 1999, yang dihadiri sekitar 126 organisasi atau komite aksi mahasiswa.
Sukses dengan konsolidasi pertamanya, selanjutnya diselenggarakanlah RNMI ke II di Surabaya pada Mei 1999. Seiring dengan dinamisnya gerak situasi politik paska Sidang Istimewa November 1998 yang telah menetapkan penyelengaraan Pemilu dipercepat dari 2002 ke 1999, RNMI II memandang penting untuk mengambil sikap dan posisi terhadap Pemilu 1999 yang akan diselenggarakan pada Juni 1999.
Oleh karena alotnya perdebatan pada RNMI II terkait dengan respon Pemilu 1999 yang akan menjadi ajang konsolidasi Orde Baru, RNMI II akhirnya tidak dapat menghasilkan sikap bersama gerakan mahasiswa terhadap Pemilu 1999. Situasi ini kemudian mendorong Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) salah satu unsur dalam RNMI-  dan terdapat 20 komite aksi didalamnya- untuk memunculkan dirinya dan menyusun langkah diselenggarakannya Kongres Mahasiswa di Bogor pada 9 11 Juli 1999.
Dari 20 komite aksi mahasiswa-rakyat, 19 di antaranya sepakat untuk membentuk sebuah organisasi nasional demi terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut disepakati dengan nama Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, disingkat LMND. Kongres I tersebut dinyatakan bahwa perjuangan LMND merupakan bagian dari perjuangan rakyat Indonesia dalam menghancurkan sistem anti demokrasi sebagai jalan untuk mewujudkan masyarakat demokratis dan berkeadilan sosial. Tujuan ini juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut Demokrasi Kerakyatan, demokrasi yang secara ide dan kenyataan berpihak kepada mayoritas rakyat, yaitu kaum buruh, tani, dan miskin kota.
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) secara organisasi LMND merupakan wadah nasional sekaligis payung dari organ-organ local dan komite-komite aksi pasca Kongres Mahasiswa pertama di Bogor. Melalui kepemimpinan Pengurus Pusat Harian (PPH), LMND mulai memperluas keterlibatan organisasi lain termasuk komite aksi kampus  untuk bergabung dengan LMND. Sampai dengan 15 September 1999, dalam “Pernyataan Sikap LMND : RAKYAT BERSATU CABUT DWIFUNGSI ABRI!” yang dikeluarkan oleh Ketua Umum PPH LMND, Muhammad Sofyian, terdapat 24 organisasi atau komite aksi mahasiswa dan rakyat yang bergabung dalam payung Liga. Organisasi atau komite aksi tersebut adalah sebagai berikut : SMUR Aceh, FOBER Palembang, KMPPRL Lampung, FRASIS Lampung, KOMRAD
Jakarta, KB-UI Jakarta, GMIP Bandung, FMD Bandung, KPMU Sumedang, SMS
Semarang, KAPRI Purwokerto, KPRP Yogyakarta, SPPR Yogyakarta, ARMY
Yogyakarta, DRMS Solo, SMPR Solo, SMPTA Solo, KPRT Jember, ABRI Surabaya,
KMM Malang, FM-IST Palu, Fair Total Mataram, RMS Salatiga, Gema Unika
Semarang.
LMND bersama komite aksi yang dipayunginya aktif dalam perjuangan menuntaskan reformasi; Menolak SI MPR, Pengadilan terhadap Soeharto, hingga penolakan terhadap RUU PKB (Pengendalian Keadaan Bahaya). Di Lampung, aksi massa yang menolak RUU PKB oleh KMPPRL-LMND pada 28 September 1999 telah menalan korban tewasnya seorang kader Liga, Jusuf Rizal dan mahasiswi Universitas Lampung, Saidatul Fitria.

LMND bersama Rakyat Berjuang Menuntaskan Reformasi Total

Hasil Pemilu 1999 yang menetapkan Gusdur – Megawati, yang juga didukung oleh kelompok politik poros tengah/reformis, sebagai Presiden dan Wakil Presiden melalui sidang MPR pada 20 Oktober 1999 tidak membuat LMND mengendorkan serangannya terhadap kekuatan sisa – sisa Orde Baru dan reformis gadungan. LMND dalam kampanyenya kepada rakyat tidak lelah memberikan penjelasan tentang bahaya laten sisa-sia Orde Baru dan kekuatan reformis gadungan yang terlihat sok berpihak kepada refromasi total namun tindakan politiknya justru membuka ruang bagi kekuatan lama dan semakin menutup ruang demokrasi rakyat.
Untuk menegaskan arah perjuangan LMND tersebut, pada Kongres II LMND di Bandung, Oktober 2000, diamanatkan untuk melakukan penggalangan kekuatan-kekuatan mahasiswa dan rakyat untuk bersama-sama membangun dewan-dewan mahasiswa atau rakyat sebagai alat perjuangan kepentingan mahasiswa di dalam kampus dan luar kampus, melawan upaya-upaya komersialisasi pendidikan serta kampanye Pendidikan Gratis, Ilmiah, Gratis, dan melawan sisa-sisa Orde Baru yang anti Demokrasi. Kongres ini juga menetapkan kawan Reinhard Sirait sebagi Ketua Umum Pengurus Pusat Harian (PPH) Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi.
Sejak Kongres ke II tersebut, LMND kemudian terlibat aktif dalam pembangunan front persatuan bersama gerakan rakyat lainnya dalam menghancurkan sisa-sisa kekuatan Orde Baru dengan salah satu tuntutannya adalah pengadilan terhadap Golkar. Bersama dengan PRD, FNPBI, JAKER, STN, Gerakan Pemuda Kerakyatan (GPK) dan organisasi lainya, LMND membentuk Front Anti Orde Baru (FRAOB), Aliansi Bubaran Golkar (ABG) dll, yang mampu meluas sampai diberbagai daerah. Tidak kecil resiko yang telah dialami oleh LMND pada masa itu. Beberapa secretariat LMND diserang, diintimidasi oleh preman dan kekuatan reaksioner pendukung Orde Baru, termasuk secretariat LMND di pusat.
Terpilihnya Gusdur sebagai presiden sebenarnya adalah buah dari kompromi politik di MPR sebagai akibat besarnya tuntutan Refromasi Total yang disuarakan oleh Mahasiswa dan Rakyat. Gus Dur yang merupakan seorang demokrat-reformis memiliki sikap gradual, terutama dalam menghadapi manuver-manuver politik yang dilakukan sisa-sisa kekuatan orde baru, maupun poros tengah yang dirancang oleh sayap oportunis di parlemen (PAN, Partai Keadilan, PBB, PPP, dll). Namun, dalam perjalanan pemerintahannya, Gus Dur justru beberapa kali terlihat hendak menunjukkan sikapnya untuk segera membersihkan sisa-sisa orde baru, dengan mengadili Soeharto, merespon tuntutan pengadilan terhadap Golkar, serta menghapuskan dwi-fungsi ABRI. Melihat langkah ini, kelompok reaksioner; sisa-sisa orde baru dan poros tengah yang oportunis, melakukan perlawanan.
Sikap politik Gus Dur yang bergerak maju menghadapi sisa-sisa orde baru dan berupaya mendemokratiskan kehidupan politik dan mendapat tantangan dari koalisi besar sisa-sisa orde baru dan poros tengah, maka LMND bersama beberapa kelompok radikal dari gerakan mahasiswa, buruh, dan petani berada di garis depan pendukung Gus Dur. Akan tetapi, akibat dipengaruhi oleh sikap gradual Gus Dur dan menurunnya dukungan politik dari dalam pemerintahan, menyebabkan Gus Dur tidak dapat mengendalikan situasi, dan akhirnya tergulingkan. Sementara itu juga, Gus Dur pada masa pemerintahannya juga mendapat tekanan dari kekuatan Neoliberal yang menghendaki kebijakan-kebijakan pasar bebas dapat dijalankan oleh pemerintahan Gus Dur. Kelumpok ini direpresentasikan oleh para ekonom yang tergabung dalam Mafia Barkeley. Meski kelompok ini tidak mendapatkan kursi pada Kabinet Persatuan Nasional, namun mereka memaksakan diri kepada Presiden Gus Dur untuk dibentuknya Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Tim Asistensi Menko EKUIN. Dalam DEN ini, duduk sebagai ketua adalah Emil Salim dan Sekretaris adalah Sri Mulyani, serta anggota-anggotanya diantaranya adalah Boediono (kini Wakil Presiden), Bambang Subianto, Kuntoro Mangkusubroto, Hadi Susastro (Almarhum), Anggito Abimanyu, H.S. Dillon, dan Theodore Permadi Rachmat.
Reformasi akhirnya dipukul mundur, dan kekuatan lama (sisa-sisa orde baru) merestorasi diri. Pada Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2011, akhirnya Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Presiden menggantikan Gus Dur dan melalui Tap MPR No IV, tertanggal 26 Juli 2001, Hamzah Haz diangkat sebagai Wakil Presiden.

LMND Bergerak Menghadang Berbagai Kebijakan Neoliberal

Setelah terpilih menjadi Presiden, Megawati Soekarno Putri cukup banyak mengakomodir kekuatan lama (orba dan tentara) dalam restrukturisasi kekuasaan barunya. Selain itu, megawati tak kuasa untuk kembali melanjutkan negosiasi dengan IMF, Bank Dunia dan WTO, terutama untuk implementasi resep-resep neoliberal di Indonesia. Tokoh Mafia Barkeley masuk dalam Kabinet Gotong Royong Megawati. Kebijakan privatisasi, pencabutan subsidi BBM, liberalisasi perdagangan semakin offensive dijalankan olehnya.
Menghadapi laju offensive kebijakan Neoliberalisme pada era pemerintahan Megawati – Hamzah Haz dalam bentuk praktek kebijakan Struktural Adjusment Program (SAP), yang telah ditandangani oleh Soeharto pada 1998, LMND kembali menggalang konsolidasi front dengan berbagai kekuatan rakyat untuk menentang Kenaikan BBM dan berbagai kebijakan pencabutan subsidi sosial diberbagai daerah.
Ditengah pasangnya perlawanan mahasiswa dan rakyat terhadap praktek kebijakan Neoliberalisme, LMND menyelenggarakan Kongres ke III di Malang pada tahun 2002. Kongres ke III LMND selain memilih kepemimpinan baru dengan Iwan Dwi Laksono sebagai Ketua Umum Eksekutif Nasional LMND (EN LMND), Kongres ke III juga merupakan penegasan arah perjuangan LMND dalam memberikan kepeloporannya guna mendorong maju kesadaran massa RAKYAT yang sedang berlawan melalui program; Gulingkan rejim Mega-Haz dan membentuk Pemerintahan Kaum Muda dan Rakyat Miskin (atau biasa kawan-kawan menyebutnya Pemerintahan RAKYAT Miskin saja).
Seiring dialektika objektif perkembangan ekonomi politik nasional saat itu, di nasional dan daerah terbangun sebuah Front Perjuangan RAKYAT Miskin (FPRM). FPRM merupakan front strategis yang dibangun untuk menyiapkan pemerintahan alternative. Selain FPRM, juga terbangun front demokratik lain yang bernama Koalisi Nasional (KN). Koalisi Nasional ini merupakan front demokratik yang memiliki keanggotaan luas dan memiliki program yang lebih maju pasca jatuhnya orde baru.
Walaupun pada awalnya isu pergantian kekuasaan dianggap terlalu radikal, namun kemudian isu ini banyak di ikuti meluas oleh gerakan mahasiswa. Dimana-mana tuntutan penggulingan rejim Mega-Haz bergema oleh gerakan mahasiswa, elemen GM yang maju semakin mendorongnya pada kebutuhan pembangunan kekuasaan alternative. Selain LMND yang mengusung program Pemerintahan Kaum Muda dan Rakyat Miskin, terdapat kekuatan lain yang kembali mengangkat tuntutan Pemerintahan Alternatif seperti PRD dengan Pemerintahan Rakyat Miskin, FAMRED dengan Dewan Rakyat, HMI-MPO dengan Presidium Nasional, dan Forkot dengan Mahkamah Rakyat.
Namun solusi pergantian kekuasaan secara damai lewat pemilu yang menjadi sogokan pemerintah cukup efektif meredam perlawanan yang sudah meluas. Selain factor meluasnya kesadaran rakyat yang belum dapat diarahkan menjadi tindakan politik untuk mendukung dibangunnya pemerintahan alternative, kesadaran massa rakyat luas juga masih menunjukkan bahwa kesadaran mereka masih percaya pada jalur parlementaris. Massa masih percaya dengan solusi-solusi demokrasi formal borjuis/ pemilu untuk mencari pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Namun yang terpenting bagi kaum progresif, dalam pekerjaan dengan massa adalah tidak boleh mengabaikan tuntutan reformis/moderat. Kesadaran massa yang awalnya ekonomis, bagi kaum progresif tidak boleh untuk dipaksakan melakukan tugas revolusi yang jauh dari kapasitasnya. Kendati, terkadang sebuah revolusi tercipta dari sebagai hasil gerak perlawanan yang spontan/letupan.
Kita tentu tidak akan menyandarkan aktivitas pergerakan untuk menunggu letupan, karena kalau itu dilakukan berarti kita telah sukses menjadikan aktifitas perjuangan kita bekerja dalam langgam advonturisme/petualanganisme. Sehingga menghadapi Pemilu 2004, ketersediaan ruang propaganda dalam pemilu 2004 tersebut perlu diisi melalui pendekatan program-program anti Neoliberalis-Imprealisme serta menjadikannya sebagai kesempatan untuk melatih pengalaman perjuangan massa dalam wadah persatuan yang strategis. Inilah landasan bagi LMND untuk mengintervensi pemilu 2004 dengan membangun partai politik electoral bernama Partai Persatuan Oposisi Rakyat (POPOR) bersama dengan gerakan rakyat lainnya seperti FNPBI, Hikmah Budhi, STN, JAKER, GPK, SBMM, JMD dan PRD. Memang taktik parlementarian bukanlah hal yang mudah, ruang legal yang tercipta untuk membangun partai ternyata masih saja coba dibendung oleh rejim dengan melakukan penjegalan terhadap struktur-struktur POPOR yang terbangun, seperti yang terjadi di Banten, Bali, dan Jawa Timur.
Ada yang memiliki anggapan dan penilaian bahwa taktik intervensi pemilu 2004 mengalami gagal total. Namun Liga tidak dapat menisbikan keberhasilan yang dicapai darinya. Ini adalah penilaian objektif yang harus dipegang oleh kaum progresif bahwa penilaian capaian dari strategi dan taktik perjuangan harus diletakkan pada situasi atau konteksnya dengan tanpa mengecualikan capaian-capaian positifnya. Hasil dari pengolahan taktik intervensi Pemilu 2004 yang dapat kita nilai adalah Pertama, Perluasan struktur : dari struktur kita mendapat tambahan struktur baru seperti Jambi, Bengkulu, Jawa Barat (Tasikmalaya), Jawa Tengah (Kudus dan Tegal), Nusa Tenggara Timur (Manggarai), Sulawesi Selatan (Palopo), Kalimantan Barat (Pontianak), dan berhasil mengkonsolidasikan ulang struktur yang telah lama tidak aktif. Kedua, Radikalisasi : di beberapa daerah struktur yang kita dapat manpu menciptakan radikalisasi seperti di Kampar, Riau dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), Ketiga, Front Persatuan : POPOR merupakan pelajaran berharga bagi LMND tentang front persatuan sejati.
Seperti penilaian beberapa pengamat, pemilu 2004 memang dapat dikatakan sebagai Pemilu yang di-set up untuk memastikan kelangsungan kebijakan Neoliberal. Ditengah menurunnya figur dari partai politik yang semua masih didominasi oleh figure lama (Megawati, Wiranto),  munculnya figur Capres yang baru, Susilo Bambang Yudoyono, cukup berhasil mengambil popularitas melalui politik pencitraannya pada Pemilu Presiden secara langsung, untuk pertama kalinya, ditengah capres-cawapres lama yang menjadi kontestan pada pemilu 2004.
LMND menilai, bahwa terpilihnya SBY-JK pada Pemilu 2004 adalah karena dukungan dari kekuatan asing, terutama negara2 imperialis dan korporasinya. Penilaian tersebut memang terbukti benar. Terhitung sejak SBY-JK dilantik oleh MPR pada 20 Oktober 2004, ia sudah memutuskan menaikkan harga BBM pada Maret dan Oktober 2005. Pada masa Pemerintahan SBY-JK juga getol mengobral asset bangsa. Tercatat, sejak Pemerintahan SBY yang pertama telah melakukan privatisasi sebanyak 44 BUMN ke pihak asing. Jauh melampui pemerintahan sebelum-sebelumnya, (bukan berarti kita mendukung privatisasi pada pemerintahan sebelum SBY, namun sebagai pembanding agresifitasnya SBY mendukung kebijakan Neoliberal), yang tercatat semisal dari periode 1991-2001, hanya 14 BUMN yang berhasil diprivatisasi.
Menghadapi semakin masifnya kebijakan Neoliberal yang dipraktekkan oleh SBY-JK, gelombang protes dan perlawanan kembali muncul. LMND bersama organisasi-organisasi mahasiswa lain, serta sektor-sektor organisasi rakyat, bekerjasama membangun komite/aliansi-aliansi bersama. Lahirlah Barisan Oposisi Bersatu (BOB), yang berjangkauan multi sektor dan cukup pluralistik.
Pembangunan front persatuan sebagai alat perjuangan yang dapat mewadahi berbagai keresahan yang muncul dari massa rakyat dan mahasiswa terus dibangun oleh Liga. Bagi Liga, alat Fron Persatuan adalah alat untuk melakukan pendidikan politik secara langsung kepada massa mahasiswa dan rakyat agar memiliki kepercayaan terhadap kekuatan serta mampu menghilangkan watak inferioritas (inlander) melalui pembangunan struktur propaganda beserta wadah perjuangannya, agar memperoleh pengalaman langsung dari perjuangan tersebut.
Pada tahun 2006, sesuai dengan amanat Kongres ke IV, bersama beberapa sektor sosial dan organisasi radikal kembali membuka pendiskusian untuk menentukan sikap dan merumuskan strategi-taktik menghadapi pemilu 2009 yang berlandaskan pada situasi objektif yang berkembang. LMND yang pada saat itu dipimpin oleh Lalu Hilman Afriandi sebagai Ketua Umum, terlibat aktif dan menjadi inisiator pendirian Komite Persiapan Partai elektoral, yakni KP-Papernas. Januari 2007, akhirnya partai elektoral baru berdiri, yaitu Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Papernas, dalam program perjuanganya berlandaskan pada program Anti Imprealisme -Nasionalisasi Pertambangan Asing, Hapus Hutang Luar Negeri, Industrialisasi Nasional- sebagai jalan untuk mewujudkan sistem masyarakat yang adil, modern, sejahtera, demokratik dan setara sepenuh-penuhnya di bidang sosial,  ekonomi, politik, hukum dan budaya dalam prinsip demokrasi rakyat.
Meskipun Liga pada saat pembangunan struktur Papernas harus membagi strukturnya 1/3 di kampus dan selebihnya 2/3 diabdikan untuk pembangunan struktur perluasan diteritorial rakyat, namun ia tidak menganggap remeh terhadap respon politik nasional yang terjadi ketika krisis global mulai menyebar ke negeri ini. Rencana DPR untuk mengesahkan RUU Penanaman Modal menjadi undang-undang pada Kamis (29/3/2007) disikapi oleh Papernas melalui penyelenggaraan Apel Akbar Kebulatan Tekad “Nasionalisasi Pertambangan Asing”. Apel akbar yang sedianya akan dilaksanakan di Tugu Proklamasi, batal diselenggarakan karena serangan dari kelompok reaksioner yang diduga dibiaya oleh kepentingan asing. Pada tahun 2008, Liga juga berhasil memberikan kepemimpinan dalam gelombang penolakan kenaikan BBM melalui pembangunan Front Rakyat Menggugat (FRM).
Pada 5 tahun pemerintahan SBY memang tercatat, banyak disahkan kebijakan-kebijakan baru yang sangat ramah terhadap modal asing. Setelah mengesahkan UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah mengesahkan Perpres No.76 tahun 2007 terkait kriteria dan persyaratan bidang usaha tertutup dan terbuka dalam penanaman modal dan Perpres No.77 tahun 2007 mengenai 25 bidang usaha tertutup dan 291 bidang usaha terbuka bagi penanaman modal domestik dan asing. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tingkat tinggi, serta pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batas kepemilikan modal asing sebesar 49 persen. Inilah yang kemudian menjadi nafas dari UU BHP yang ditentang oleh berbagai gerakan mahasiswa secara nasional. Pada kuartal pertama 2008, LMND di Sulawesi berhasil membangun sebuah konsolidasi Gerakan Rakyat Melawan Tolak BHP. Sementara di Jakarta, pada 15 Januari 2009, LMND melakukan aksi Tolak RUU BHP pada acara Sosialisasi UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dilakukan pemerintah dan dihadiri oleh Mendiknas di sebuah hotel di Jln. Raya Puncak, Cisarua, Bogor.
Dalam prakteknya, melalui kerja-kerja intervensi Pemilu 2009 yang diletakkan dalam perkembangan situasi objektif (ekonomi politik) yang berkembang, diberbagai wilayah dan kota, struktur Liga masih dapat memberi kepeloporannya dalam gerakan mahasiswa dan kampus. Disisi yang lain, memperoleh sebuah pengalaman baru dalam menyusun program-program yang berkesesuaian antara kampus dan teritorial pembangunan struktur gerakan rakyat. Program advokasi kesehatan di teritori rakyat miskin, program advokasi perampasan lahan dan advokasi perburuhan yang dilakukan oleh kawan-kawan Liga di NAD, Sumatera Utara, Riau, Batanghari, Lampung, Jakarta, Denpasar, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bau-Bau/ Sulawesi Tenggara, Makasar-Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Maluku; dapat kita lihat hasilnya melalui keberhasilannya dalam memimpin berbagai Ormas-Ormas Sektor Rakyat.
Penjajahan asing (imperialisme) yang begitu nyata dalam penguasaan kekayaan alam Indonesia, terutama sektor pertambangan (migas, batubara, mineral, dll) yang telah lama dibawah bendera asing, LMND sudah menunjukkan kepeloporannya dalam bentuk aksi massa yang konkrit dengan mendatangi kantor-kantor korporasi asing yang berdiri diberbagai daerah. Di Jakarta, LMND berkali-kali melakukan aksi massa ke kantor pusat Exxon Mobil Oil. Di Makasar ke PT Inco, Di Nusa Tenggara ke Newmont Nusa Tenggara, Di Riau ke Chevron. Aksi serupa juga digelar di kota-kota lain dengan tema yang sama; Nasionalisasi Perusahaan Tambang Asing. 

Kongres V LMND : Kembali mengobarkan Semangat Tri Sakti, Anti Neokolonialisme dan Melengkapi Semangat Demokrasi Kerakyatan dengan Azas Pancasila
De-politisasi dan de-organisasi yang terjadi selama kekuasaan Orde Baru telah menimbulkan dampak negatif yang tidak kecil terhadap perkembangan sejarah dan pergerakan politik nasional. Untuk memperoleh legitimasi kekuasaannya diatas pembataian jutaan rakyat Indonesia, Orde Baru Soeharto menyusun narasi tunggal tentang Pancasila melalui propaganda intensif Pelajaran Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) dan penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Pancasila yang awalnya digali Ir. Sukarno bersama anggota BPUPKI untuk memerangi imperialisme dan kolonialisme, mengalami distorsi (penyelewengan) agar dapat menjadi legitimasi politik Jenderal Suharto untuk tanpa keadilan mempersilahkan datangnya penjajahan gaya baru selama 32 tahun dan tanpa kemanusiaan menghabisi kekuatan progresif. Distorsi yang dilakukan oleh Orde Baru tersebut telah membuat massa, baik mahasiswa atau rakyat, lupa akan sejarah politiknya, lupa akan proses pembentukan negara ini.
Dewasa ini, kita merasa seolah wajah bangsa Indonesia tak seindah bayangannya seperti saat bangsa ini diproklamasikan sebagai Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.  Setiap pekan sekali, generasi penerus bangsa ini membaca dan memperhatikan teks Pembukaan UUD 1945 yang telah meletakkan dasar tujuan dari Indonesia Merdeka adalah membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Namun, ketika berangkat dan pulang sekolah, serta saat bersosialisasi dengan lingkungan, kita menyaksikan gambaran buram potret kehidupan rakyat Indonesia yang hidup masih jauh dari cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamasikan 66 tahun yang lalu. Alih-alih memperoleh kemajuan kesejahteraan umum, angka putus sekolah, pengangguran dan kriminalitas di negeri ini seolah menjadi pandangan yang makin biasa.
Sebagai negeri yang memiliki potensi kekayaan alam dalam peringkat 25 negara penghasil minyak terbesar (4.3 milyar barrel), peringkat 21 penghasil minyak mentah terbesar dunia (1 juta barrel/hari), peringkat 13 negara dengan cadangan gas alam terbesar (92.9 TCF), peringkat ke-8 penghasil gas alam terbesar dunia (7.2 TCF), ternyata tak mampu memberi sumbangan kepada perkembangan industry dalam negeri. Menurut laporan Kompas pada 23 Mei 2011, dominasi asing dalam sektor energi dan sumber daya mineral sudah sampai 75 %. Dominasi pihak asing kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis perekonomian. Selain di sektor energi dan sumber daya mineral, dominasi asing juga menunjukkan semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka. Per  Maret 2011 pihak asing telah menguasai 50,6 persen aset perbankan nasional. Dengan demikian, sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.  Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.
Masih dalam laporan Kompas, penguasaan asing juga telah merambah ke sector asuransi. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Kalau dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing. Hal itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen.
Berangkat dari kenyataan objektif bangsa Indonesia yang berada dibawah penjajahan gaya baru dalam berbagai kebijakan perundang-undangan, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi memandang perlu dilakukan penggalian kembali falsafah bernegara dan berbangsa yang berlandaskan cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pada kongresnya yang ke V, LMND memutuskan untuk merubah azas perjuangannya dari Demokrasi Kerakyatan menjadi Pancasila. Hal ini bukan berarti LMND melakukan penghilangan prinsip demokrasi kerakyatan yang menempatkan rakyat sebagai tulang punggung perubahan dan pemilik mandat/ daulat atas Negara dan kehidupan bangsanya. Namun, perubahan azas dari Demokrasi Kerakyatan menjadi Pancasila merupakan usaha memberikan pelengkap atas azas demokrasi kerakyatan dengan azas-zas yang lain seperti Kebangsaan, Perikemanusiaan, Keadilan Sosial dan Ketuhanan yang Berkebudayaan. (baca Pidato Pancasila Bung Karno 1 Juni 1945).

1 komentar: